Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan untuk produk pangan semi olahan maupun olahan terlepas dari potensi dan kontribusi besar yang disumbang oleh komoditas pangan secara umum.
Pengurus Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Bidang Kerja Sama Luar Negeri Iwan Winardi menyebutkan setidaknya 23,71 persen ekspor Indonesia disumbang oleh komoditas pangan dan turunannya yang telah diolah.
Pada 2020, total ekspornya mencapai US$31,08 miliar atau naik dibandingkan dengan 2019 yang berada di angka US$27,23 miliar.
“Potensi makanan minuman itu cakupan domestik maupun ekspor luar biasa, karena di negara lain konsumsi pangan pattern seperti ini juga. Sebanyak 23,71 persen ekspor kita itu berupa makanan minuman bisa berupa cokelat, kopi, ikan atau processed food lainnya,” kata Iwan dalam diskusi daring, Senin (19/4/2021).
Meski demikian, segmen olahan Indonesia masih mengalami defisit dalam 3 tahun terakhir. Dengan ekspor sebesar US$7,88 miliar dan impor senilai US$8,17 miliar, defisit neraca perdagangan makanan olahan Indonesia berjumlah US$289,45 juta pada 2020.
Nilai ini lebih tinggi dibandingkan defisit pada 2019 yang berada di angka US$24,62 juta dan lebih rendah dibandingkan dengan defisit 2018 yang menembus US$1,00 miliar.
Salah satu pasar utama ekspor produk makanan olahan Indonesia, lanjut Iwan, adalah negara-negara Asean. Neraca perdagangan makanan olahan cenderung surplus ke negara Asean, kecuali dengan Thailand di mana Indonesia menderita defisit sebesar US$669,40 juta pada 2020.
“Kita hanya minus terhadap barang-barang dari Thailand, jadi lebih banyak impor dari Thailand daripada ekspor ke Thailand. Demikian juga terhadap negara lainnya, dengan Jepang kita surplus, terhadap China kita minus tetapi makin lama minusnya makin kecil,” lanjut dia.
Adapun negara tujuan ekspor utama Indonesia adalah Amerika Serikat yang kemudian disusul beberapa negara Asia dan Eropa. Negara-negara tersebut adalah Filipina, Malaysia, China, Belanda, Singapura, Jepang, Thailand, Vietnam, dan Kamboja.
Iwan mengatakan pembenahan dalam industri makanan masih perlu dilakukan, terutama pada proses midstream yang kerap menyumbang food loss. Proses ini erat kaitannya dengan aktivitas pascapanen guna memastikan produk masih dalam kondisi baik sebelum diterima konsumen.