Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Kakao Terhambat Data Pemerintah

Berdasarkan data asosiasi, separuh pabrik kakao telah berhenti beroperasi.
Buruh memetik kakao di perkebunan kakao Pasir Ucing, Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (1/2/2021). Bisnis/Rachman
Buruh memetik kakao di perkebunan kakao Pasir Ucing, Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (1/2/2021). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA — Kendati produksi kakao di dalam negeri meningkat, tetapi industrinya masih mencatatkan banyak pekerjaan rumah.

Wakil Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) Periode 2012-2019 Sindra Wijaya mengatakan  kenaikan produksi biji kakao saat ini masih jauh untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri.

Menurut data Dekaindo sejak lima tahun lalu kapasitas terpasang industri kakao sudah mencapai 800.000 ton, tetapi hingga tahun lalu kapasitas terpakainya masih dibawah 60 persen dan itupun sebagian dipenuhi dengan bahan baku impor.

"Kapasitas terpakai industri kakao tahun lalu naik tipis sekitar 3 persen menjadi 436.000 ton dari 425.000 pada 2019," katanya kepada Bisnis, Kamis (15/4/2021).

Sindra menekankan bahwa pemerintah kerap memberikan janji manis di luar realita terkait industri kakao. Meskipun menteri maupun dirjen sudah beberapa kali berganti, tetapi semua kompak menggunakan data kakao yang tidak akurat. 

"Menurut saya data produksi kakao yang tidak akurat inilah yang menjadi biang keladi sulitnya membangkitkan kembali kejayaan kakao di Indonesia. Pemerintah harus hadir karena sulit jika hanya mengandalkan pihak industri yang sama sekali tidak memiliki kebunnya," katanya.

Da melanjutkan bahwa idealnya data produksi kakao direvisi oleh pemerintah sesuai dengan realita yang ada. Kemudian, pemerintah bisa menetapkan beberapa provinsi atau kabupaten sebagai sentra kakao, dan memberi anggarkan dana yang memadai untuk pengembangan di sentra kakao secara berkesinambungan.

Pemerintah juga wajib melibatkan semua stakeholder dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. "Paling penting seluruh pelaku industri kakao harus diwajibkan untuk membina dan bermitra dengan para petani," ujarnya.

Sindra menyebut dari 20 pabrik kakao yang ada hanya sekitar 50 persen yang masih beroperasi, separuh pabrik sudah lama berhenti produksi. Bahkan, mirisnya ada sebuah pabrik di Sulawesi yang sedang  dipasarkan untuk dijual.

Menurut Sindra, persoalan pabrikan di industri ini sama, yakni kekurangan bahan baku, dan yang bisa bertahan hanya industri berkapasitas besar dengan status PMA.

Masalah lama yang masih juga muncul, kata Sindra, dari sisi pemerintah di mana data Kementerian Pertanian masih kerap menyebut Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga dunia.

Dia pun menyayangkan polemik lama dari perbedaan data antara asosiasi kakao dengan Kementan, hingga kini belum ada solusinya bahkan perbedaannya menjadi semakin melebar.

Padahal Sindra mengatakan data yang akurat sangat penting karena akan sangat terkait dengan kebijakan yang diambil pemerintah dan nasib jutaan petani kakao di berbagai daerah.

Mengingat 97 persen perkebunan kakao di Indonesia berupa perkebunan rakyat yang sangat membutuhkan bantuan dan perhatian pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ipak Ayu
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper