Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan harga gas khusus industri genap berumur satu tahun, dan masih menyisahkan riak di tengah pemangku kepentingan.
Kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Beleid tersebut mengatur bahwa penyesuaian tarif gas ke level US$6/MMbtu wajib dilaksanakan paling lambat pada 13 Mei 2020.
Adapun, salah satu alasan pemerintah menetapkan harga gas industri pada level tersebut adalah untuk meningkatkan daya saing industri nasional.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang tidak menimbulkan kerugian di satu sisi.
Dia mencontohkan, kebijakan harga gas industri menjadi penyebab kerugian PT Perusahaan Gas Negara Tbk. Di sisi lain, kondisi ini diperparah oleh penyerapan gasnya tidak optimal sehingga membuat penyalur gas harus rela merasakan biaya operasi yang lebih besar dibandingkan dengan keuntungan.
Baca Juga
"Hal ini harus diperhitungkan pemerintah, sebenarnya nggak apa-apa tapi volumenya banyak, tapi simulasi itu meleset sehingga kerugiaan tidak bisa terhindarkan," ujarnya, dalam keterangan tertulis, Rabu (14/4/2021).
Terpisah, Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno menambahkan dengan realisasi penyerapan gas oleh konsumen industri yang tidak optimal, maka kebijakan harga gas perlu dievaluasi.
Idealnya, dengan ditetapkannya gas menjadi US46 per MMBTU membuat industri lebih produktif.
"Pemerintah juga evaluasi kebijakan dari program harga gas khusus untuk industri tertentu itu. Karena setelah diberikan fasilitas itu industrinya gak bergeliat," ujar Eddy.
Mengutip Laporan Keuangan PGN, Eddy menyebutkan, terlihat realisasi niaga gas bumi kepada industri dan komersial sepanjang 2020 mengalami penurunan 23 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Konsep awalnya kan, keringanan harga gas itu agar industrinya meningkatkan kinjera menghasilkan produk dan bisa memberikan nilai tambah bagi negara," kata Eddy.
Senada, Analis Finvesol Consulting Fendi Susiyanto menjelaskan, karena sektor industri menyerap lebih dari 70 persen pasokan gas PGN, maka wajar kebijakan ini juga menentukan kinerja perusahaan.
Situasi tersebut kemudian merugikan PGN dan investornya di pasar modal.
"Masuk akal jika kerugian PGN akibat harga gas US$6 bisa mencapai US$100 juta, karena mayoritas pengguna gas PGN adalah penerima manfaat harga gas US$6 itu,” ujarnya melalui keterangan pers, Selasa (13/4/2021)
Kendati demikian, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengatakan bahwa dalam implementasi Keputusan Menteri ESDM No. 89K/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, PGN berkomitmen untuk mendukung penuh program dan pemberlakuan ketentuan-ketentuan komersial yang tertuang dalam perjanjian jual beli gas (PJBG) antara PGN dengan pelanggan.
Untuk alokasinya, PGN menyalurkan gas kepada tiap-tiap pelanggan sesuai dengan alokasi yang tertera dalam beleid tersebut.
Rachmat mengatakan bahwa pihaknya juga terus memonitor penyaluran gas alokasi gas industri dan terus kemudian melaporkan progresnya ke Kementerian ESDM.
"Implementasi Kepmen 89K/2020 membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, baik regulator, produsen hulu, dan badan usaha hilir agar kebijakan penetapan harga gas industri tertentu sebesar US$6 per MMBtu dapat benar-benar memberikan stimulus dalam produktivitas dan mendorong daya saing industri," katanya.
Berkaca dari kinerja keuangan PGN 2020, subholding BUMN migas ini membukukan pendapatan sebesar US$2,88 miliar atau sekitar Rp42,07 triliun pada 2020 (kurs tengah rata-rata Jan-Des 2020 Rp 14.582/US$). Adapun perseroan mencatatkan rugi bersih sepanjang tahun.
Berdasarkan laporan keuangan, emiten berkode saham PGAS itu membukukan rugi tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas induk sebesar US$260,15 juta atau Rp3,8 triliun (kurs Rp14.615) pada 2020.