Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri makanan dan minuman meminta pemerintah mencabut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3/2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional.
Adapun regulasi tersebut adalah aturan turunan dari Undang Undang Cipta Kerja yang diresmikan pada tahun lalu.
Pengusaha mencatat kiprah industri Jawa Timur saat ini cukup penting dengan kontribusi 37,39 persen terhadap sektor manufaktur Nasional. Sementara itu industri makanan dan minuman Jawa Timur mencatat porsi sekitar 38 persen.
Ketua Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi (FLAIPGR) Dwiatmoko Setiono mengatakan Permenperin No 3/2021 memaksa industri pengguna gula rafinasi hanya berhubungan dengan segelintir pelaku usaha yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010 dalam hal pasokan gula rafinasi.
Adapun pelaku usaha yang dimaksud adalah 11 pabrikan yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Dwiatmoko menyebut kesebelas pabrik itu mayoritas atau 7 di antaranya berada di Banten, 1 Makasar, 1 Jawa Tengah, 1 Lampung, dan 1 Sumatera Utara.
"Kalau industri yang di Jawa Timur harus menunggu gula dari Cilegon maka akan membuat ekstra biaya dan waktu dalam produksi karena di Jawa Timur sebenarnya juga ada 2 pabrik tetapi terganjal Permenperin tersebut lantaran baru memiliki izin pada Mei 2016," katanya dalam webinar Nasib Industri Mamin Jawa Timur, Rabu (7/4/2021).
Oleh karena itu, Dwiatmoko mengemukakan sudah selayaknya regulasi itu dicabut karena tidak menjamin persaingan usaha yang sehat kepada semua industri.
Dia menambahkan regulasi tersebut malah menyebabkan kerugian pada industri pengguna. Kerugian itu bahkan belum menghitung sejumlah usaha yang berhenti di tengah pandemi ini.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan arah Permenperin Nomor 3/2021 yakni membuat adanya demarkasi yang bertujuan untuk memberi garis antara gula rafinasi untuk industri dan gula tebu untuk konsumsi.
Agus menyebut pabrik gula rafinasi dibentuk sebelum 2010 untuk mempermudah industri makanan dan minuman mendapatkan bahan baku. Kala itu, Agus mengatakan kebun-kebun belum memadai sementara kebutuhan indutsri mamin terus bertumbuh, akhirnya dibentuklah pabrik gula rafinasi yang berjumlah 11 perusahaan.
Dari 11 pabrik tersebut saat ini memiliki kapasitas 5 juta ton sayangnya sampai hari ini utilisasi baru 65 persen atau terpakai produksi sekitar 3 juta ton.
"Jika tidak melakukan demarkasi ini pabrik gula rafinasi tidak akan pernah optimal, begitu pula sebaliknya," katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Agus pun mengatakan pada suatu masa pabrik gula rafinasi mengalami kapasitas penuh tentu akan kembali diperlukan rumusan kebijakan baru. Mungkin, dengan pembukaan investasi baru mengingat rerata kebutuhan industri mamin memang tumbuh 5 persen bahkan sebelum pandemi pernah mencapai 8,9 persen hingga dua digit.