Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah untuk menggunakan metanol sebagai bahan campuran bahan bakar minyak jenis gasoline atau bensin disarankan untuk dikaji lebih mendalam.
Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Tirto Prakoso menilai penggunaan campuran metanol sebagai bahan bakar dapat menghambat upaya pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Hal ini disebabkan metanol yang diproduksi dari bahan bakar fosil menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi dari bensin.
"Apalagi dari metanol yang rencananya akan dibuat dari batu bara bisa 6,5 kali lebih tinggi dari gas alam. Kalau gunakan metanol, kita tidak pro terhadap pengurangan emisi karbon di Indonesia," ujar Tirto dalam diskusi virtual, Kamis (26/3/2021).
Di sisi lain, penggunaan metanol untuk bahan bakar juga berdampak negatif bagi kendaraan. Tirto menuturkan bahwa metanol mengandung gugus hidroksi yang bersifat korosif.
"Dampak utama penggunaan metanol ini korosivitasnya dan membuat konsentrasi yang diizinkan dibatasi pada tingkat yang rendah. Penggunaannya tidak bisa tinggi. Kemudian juga kerusakan atau degradasi saluran bahan bakar. Metanol mempercepat kerusakan elastomer bahan yang digunakan pada pipa atau selang bahan bakar," katanya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan bahwa pemerintah tengah mendorong hilirisasi batu bara untuk memproduksi metanol yang ditujukan untuk mengurangi impor bensin.
"Produksi metanol untuk mensubtitusi atau blending dengan BBM jenis gasoline, serta bahan baku industri kimia," ujar Arifin dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Selasa (19/1/2021).
Adapun, pemerintah tengah mengembangkan bahan bakar A20, yakni campuran bensin dengan 15 persen metanol dan 5 persen etanol. A20 dikembangkan untuk subtitusi Premium (RON 88), Pertalite (RON 90), dan Pertamax (RON 92).