Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan pematokan harga domestic market obligation batu bara untuk sektor ketenagalistrikan telah menghasilkan penghematan biaya pokok penyediaan listrik.
Hal itu disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif.
Untuk memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri, pemerintah mewajibkan pemegang IUP, IUPK, dan PKP2B memenuhi domestic market obligation (DMO) sebesar 25 persen dari rencana jumlah produksi batu bara yang disetujui.
Harga jual batu bara demi penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dipatok US$70 per metrik ton free on board (FOB) vessel.
"Penetapan harga US$70 sebetulnya memberikan dampak baik ke konsumen karena bisa mendapatkan penghematan cukup besar disebabkan harga batu bara internasional yang melonjak tinggi. Sekarang ini batu bara mulai recover, harga sudah di atas US$70 per ton. Ini akan memberikan manfaat yang lebih baik," ujar Arifin dalam rapat kerja Komisi VII DPR RI, Senin (22/3/2021).
Dia menyebutkan pada 2018 saat rerata harga batu bara pada kisaran US$99 per metrik ton, kebijakan harga DMO batu bara mampu menciptakan penghematan BPP sebesar Rp17,9 triliun.
Pada 2019, ketika rerata harga batu bara pada kisaran US$77,9 persen, kebijakan harga DMO batu bara mampu menciptakan penghematan BPP sebesar Rp11 triliun.
"Sedangkan selama 2020, harga batu bara relatif lebih rendah dari harga caping sehingga tidak ada penghematan biaya," katanya.
Penentuan harga jual batu bara pada sektor ketenagalistrikan dimaksudkan untuk menjamin PLN dapat membeli batu bara dalam negeri sesuai kemampuan finansialnya, tanpa ada tambahan subsidi dan kenaikan tarif dasar listrik.
Besaran harga jual batu bara untuk kelistrikan sebesar US$70 per metrik ton tersebut telah mempertimbangkan kelayakan ekonomi perusahaan pertambangan agar dapat beroperasi secara berkelanjutan.
"Apabila ditentukan lebih rendah dari HBA US$70 per metrik ton, diperkirakan akan terjadi potensi kecenderungan ekspor yang akan menimbulkan kelangkaan batu bara dalam negeri," kata Arifin.