Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Guntur Syahputra Saragih

Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Lihat artikel saya lainnya

Sang Predator Harga

Putusan KPPU terkait predator harga atau predatory pricing baru ada satu kali sepanjang hampir 21 tahun lembaga ini hadir di Indonesia
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) / david Eka Issetiabudi
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) / david Eka Issetiabudi

Bisnis.com, JAKARTA - Dalam sebuah perlombaan, hasilnya pasti berbeda-beda. Hal yang sama dengan alasan pelaku dalam menerima hasil pertandingan. Bagi yang kalah, kadangkala dia menjadikan pesaingnya sebagai alasan mengapa dirinya kalah.

Meskipun demikian, tidak semua persepsi atas tuduhan kecurangan dapat diselesaikan secara hukum. Hal ini dikarenakan hukum harus berdasarkan pada pembuktian, tidak semua realita dapat dijadikan fakta hukum. Hukum sebagai alat untuk memperoleh keadilan, untuk meraihnya diperlukan upaya pembuktian.

Pembuktian tersebut merupakan tanggung jawab bersama, bukan saja semata-mata hanya tuntutan dari yang kalah, melainkan juga tuntutan untuk mendapatkan rasa keadilan dan kemanfaatan.

Salah satu kecurangan dalam kehidupan bisnis terdapat dalam hal pelanggaran persaingan usaha. Berdasarkan pengalaman lembaga otoritas pengawas persaingan usaha di berbagai negara, perkara predatory pricing tergolong lebih sedikit dibandingkan dengan perkara lain, seperti kartel.

Khusus di Indonesia, putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait predatory pricing baru ada satu kali sepanjang hampir 21 tahun lembaga ini hadir di Indonesia.

Dalam kaitan itu, hari ini kita menerima kenyataan bahwa industri e-commerce tak pelak lagi memberikan panggung persaingan yang terlihat begitu terbuka. Keunggulan kompetitif faktor produksi land (lokasi) dihadap-hadapkan dengan keunggulan faktor produksi yang lain.

Perbedaan jarak pada konsumen domestik dan status pelaku usaha (local versus cross border) dahulu dianggap berpengaruh dalam bisnis B2C (Business to Customer). Namun saat ini sudah berkurang porsinya.

Dahulu perdagangan cross border B2C hanyalah kompetitif untuk B2B (Business to Business) dan untuk kategori produk non fungsional seperti untuk cinderamat dan produk yang berbau heritage.

Dalam perjalannya, kita merespons e-commerce dengan begitu antusias. Segala kemudahan dan kecanggihan yang mampu menurunkan transaction cost (biaya transaksi) dan searching cost (biaya mencari) dianggap sebagai sebuah terobosan yang membuat pasar semakin kompetitif.

Kita dimanjakan oleh perlakuan perusahaan marketplace yang kita kenal dengan istilah ‘bakar uang’. Kita mungkin saja menganggap kondisi demikian adalah consumer surplus meskipun kita tidak dapat menjelaskan hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi sisi efisiensi dan produktivitas.

Persoalannya, benarkah hanya soal predatory pricing? Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mendeskripsikan beberapa isu pelanggaran persaingan usaha.

Pertama, predatory pricing. Kedua, refusal to supply. Ketiga, tying or bundling. Keempat, margin squeeze. Kelima, forced free-riding and discriminatory leveraging. Keenam, exploitative practices (price discrimination and excessive pricing) dan horizontal collusion.

Salah satu modal pelaku usaha mampu melakukan predatory pricing adalah yang mutlak dan atau keunggulan modal dan kemampuan untuk mencegah adanya kegiatan penjualan kembali (reseller).

Saya pernah mendapatkan informasi mengenai pedagang kaki lima yang menjual kembali barang dagangan yang dia beli dari e-commerce saat terjadi promo besar-besaran.

Selain itu, jika pun predatory pricing untuk menyingkirkan pesaing keluar dari pasar, apakah hal tersebut tidak menghadirkan berpindahnya konsumen kepada produk subsitusi? Pada dasarnya pasar memiliki kemampuan untuk melakukan koreksi atas pelanggaran di dalam pasar.

Kehadiran penegakan hukum persaingan usaha sangat diperlukan untuk kondisi pasar yang sudah tidak kuat menghadapi penyimpangan dalam pasar.

Selain predatory pricing, potensi pelanggaran lainnya seperti integrasi vertikal, praktek monopoli, diskriminasi, perjanjian eksklusif sangat mungkin terjadi. Kondisi pasar yang semakin terkonsenterasi ini merupakan akibat dari adanya merger atau akuisisi, sehingga membuat hubungan terafiliasi antar pelaku usaha. Tindakan-tindakan ini lebih mempunyai rasionalitas untuk terjadi dibandingkan dengan tindakan predatory pricing.

Jauh lebih penting dari persoalan kalahnya pelaku usaha kita adalah kepentingan dalam hal yang lebih besar. Apakah kita perlu kembali mendukung lingkungan bisnis di dalam negeri?

Dukungan kepada pelaku usaha dalam negeri khususnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mampu menciptakan proses bisnis distribusi yang lebih kompetitif. Kehadiran e-commerce merupakan kesempatan besar bagi UMKM yang selama ini sulit menembus pasar modern. Oleh karena mari kita jaga bersama e-commerce untuk tetap memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.

Semoga saja predatory pricing bukanlah kambing hitam. Masih ada banyak pekerjaan rumah kita terkait dengan daya saing dan ada pula pelanggaran persaingan usaha lainnya yang berpotensi membuat e-commerce tidak kondusif bagi UMKM.

Semoga kita dapat melihat masalah secara lebih jernih dari warna-warni kambing yang ada, dari warna-warni lingkungan, dari warna-warni kandang kambing dan mungkin juga warna-warni dari orang yang beternak kambing.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper