Bisnis.com, JAKARTA - Harga pangan dunia yang terus mengalami kenaikan dalam sembilan bulan terakhir hingga mencetak rekor tertinggi dalam enam tahun.
Kondisi ini dikhawatirkan dapat memberi efek ganda terhadap harga bahan pokok di dalam negeri, terutama pada komoditas yang banyak dipasok lewat impor.
Lonjakan harga diyakini bisa terjadi akibat permasalahan distribusi meski pemerintah mengklaim pasokan bakal aman jelang Ramadan dan Idulfitri.
Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan ketersediaan barang bukan jaminan harga di tingkat konsumen akan aman. Dia menyebutkan terdapat tantangan akses konsumen di tengah daya beli yang belum pulih sepenuhnya.
“Stok aman ini dalam arti ketersediaan, bukan dalam arti akses untuk mampu untuk membeli. Dalam hal pangan impor, harus selalu diperhatikan kondisi harga global dan posisi nilai tukar rupiah,” kata Enny saat dihubungi, Minggu (14/3/2021).
Organisasi Pangan Dunia (FAO) dalam laporannya menyebutkan harga pangan global menyentuh level tertinggi dengan indeks harga pangan per Februari yang menyentuh 116,0 poin atau naik 2,4 persen dibandingkan dengan Januari. Kenaikan ini disumbang oleh terkereknya harga minyak nabati dan gula yang masing-masing menunjukkan kenaikan indeks sebesar 6,2 dan 6,4 persen secara bulanan.
Baca Juga
Enny memperkirakan harga pangan global masih akan terus naik akibat berlanjutnya pandemi dan juga bertambahnya negara yang melakukan impor untuk mengamankan stok.
Di sisi lain, sejumlah komoditas juga menunjukkan pasokan yang ketat akibat gangguan produksi sehingga mempengaruhi pergerakan harga. Sebagai contoh, FAO memperkirakan pasokan daging sapi dari sejumlah produsen bakal terbatas, begitu pula untuk gula yang menunjukkan penurunan produksi.
“Di sisi lain situasi musiman kenaikan permintaan bisa dimanfaatkan oleh rent seeker untuk mempermainkan harga. Karena itu perlu ada transparansi dan pengawasan di sisi distribusi. Jangan sampai yang memegang kuota besar bisa menahan pasokan dan berefek ke harga,” ujarnya.
Enny mengatakan kondisi permintaan secara umum terbilang stabil dan belum menunjukkan kenaikan signifikan.
Namun, dia memperkirakan permintaan terhadap pangan tetap tinggi. Dalam pasokan komoditas pangan impor tidak diiringi dengan distribusi yang transparan, bukan tak mungkin harga akan terkerek merembet ke harga komoditas lain yang dipasok dari produsen domestik.
“Gula, bawang putih, dan kedelai ini sifatnya pokok, kalau naik bisa menimbulkan efek penularan ke komoditas lain yang sebenarnya tidak tergantung ke impor. Ini disebut inflation expectations,” jelasnya.
Enny menjelaskan inflasi yang terjadi pada saat daya beli yang rendah memiliki arti bahwa konsumsi masyarakat hanya mampu menyasar kebutuhan pokok. Dengan demikian, konsumsi pada kelompok barang lain akan turun drastis.
“Artinya pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan sangat terganggu,” kata Enny.
Terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra mengatakan bahwa Kementerian Perdagangan telah memanggil seluruh asosiasi pelaku usaha, termasuk importir, pedagang, dan peritel untuk menjamin pasokan barang tetap terjaga terlepas dari pergerakan harga internasional.
“Kami sudah peringatkan. Pilihannya dua, kami gerojoki pasar atau kami beri peringatan. Di situasi seperti ini kami sampaikan jangan sampai pelaku usaha berlaku macam-macam, jangan main-main,” kata Syailendra.
Dia juga menyebutkan bahwa Kementerian Perdagangan serta dinas di daerah yang bergerak di sektor perdagangan telah memulai aktivitas pengawasan harga dan pasokan. Dengan demikian, langkah antisipasi bisa disiapkan beberapa pekan sebelum Ramadan tiba.
“Pekan ini kami sudah mulai turun untuk cek pasokan dan harga, sampai h-3 Ramadan pengawasan akan diintensifkan,” kata dia.