Sudah sekira tujuh bulan terakhir ini, sejak Agustus tahun lalu, saya mondar-mandir Solo-Jakarta dengan mengendarai mobil. Belum berani naik pesawat. Terus terang, situasinya berubah banyak.
Tujuh bulan lalu, keluar-masuk Jakarta rasanya lengang sekali. Jalanan dalam kota Jakarta nyaris tidak ada antrean kendaraan. Tidak ada kemacetan. Di jalan tol juga begitu rupa. Kurang lebih sama.
Dari rumah saya di Karawaci, Tangerang, ke pusat kota Jakarta tempat lokasi kantor kami, rata-rata ditempuh dalam waktu 30- 45 menit. Itu sejak pembatasan sosial diterapkan gara-gara pandemi Covid-19. Jalanan luancar banget. Padahal sebelum Covid-19 paling cepat 1,5 jam.
Jalan tol luar kota juga begitu rupa. Pertama kali saya ke Solo pasca-PSBB pada akhir Juli, nyaris tidak bertemu kendaraan bertonasi besar di jalan tol Jakarta-Solo. Kendaraan kecil pun jarang-jarang. Di jalanan dalam kota Solo pun kira-kira sama. Tak banyak saya menjumpai kepadatan arus kendaraan. Cenderung lengang.
Beda sekali dengan belakangan ini. Sudah tiga kali saya mondar-mandir Solo-Jakarta dalam sebulan terakhir ini. Saya terkaget-kaget. Di jalur jalan tol Solo-Jakarta, banyak sekali bertemu dengan truk-truk besar. Penuh muatan.
Saya perhatikan, dari arah Semarang menuju Jakarta dan sebaliknya, sama-sama padat. Berbeda sekali dengan kondisi bulan Agustus hingga Desember tahun lalu, saat saya juga kerap mondar-mandir di jalan yang sama.
Sebulan terakhir ini bertambah kaget, karena di dalam kota Jakarta jalanan macet sekali. Tujuh bulan tinggal di Solo, melihat perubahan kondisi lalulintas Jakarta nyata sekali.
Bahkan Rabu (10/3), setelah mewakili Harian Jogja menerima penghargaan dari Kepala BNPB Doni Monardo di acara penutupan Rakornas Penanggulangan Bencana, saya lebih kaget lagi karena jalanan dari Jakarta menuju rumah saya di Karawaci parah sekali. Macet banget.
Kondisi lalulintas Jakarta Raya, saya perhatikan, sudah tak jauh berbeda dengan situasi saat sebelum pandemi covid-19. Padat merayap dan macet di mana-mana.
Mustafa, driver yang menemani saya dari Solo, terheran-heran. Kok Jakarta macet seperti ini. Dia bandingkan dengan macetnya jalanan Jogja yang pernah dialaminya. Macet Jogja --saat musim liburan-- tak ada apa-apanya.
"Sudah tak ada Covid di Jakarta," katanya.
***
Bulan ini memang sudah genap setahun Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Sejak kasus nomor 1 dan nomor 2 diumumkan ke publik pada awal Maret 2020, pembatasan sosial dan pergerakan manusia menjadi jalan utama untuk menangkal pandemi.
Maka, banyak negara melakukan lockdown dan karantina wilayah. Pemerintah Indonesia, dengan lokus di Jakarta Raya, menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB sejak 10 April 2020.
Maka, sejak saat itu, Indonesia "bergabung" dengan gerakan dunia menyetop rantai penularan virus Corona strain baru, SarsCov-2, penyebab pandemi penyakit Covid-19.
Ibu Kota Jakarta lalu menjadi kota yang lengang. Saat itu, jika ada pergerakan di beberapa titik wilayah Jakarta, cepat menjadi perbincangan ramai di media sosial. Dianggap melanggar PSBB. Dinilai tak patuh. Dan dihujat.
Dan tak hanya Jakarta. Meski tanpa menggunakan istilah PSBB, gerakan penjarakan sosial alias social distancing itu membuat banyak orang takut keluar rumah. Banyak orang takut berinteraksi sosial. Takut sakit dan takut mati.
Kantor-kantor menjalankan program work from home alias WfH. Tidak hanya di sektor pemerintahan, tetapi juga sektor swasta. Mobilitas manusia sangat dibatasi.
Angkutan umum sangat jauh dikurangi. Kendaraan pribadi dibatasi. Maka jalanan menjadi sangat lancar. Tak ada kemacetan. Jalan tol Jakarta-Solo dapat ditempuh dalam waktu 5 jam saja. Begitu pula sebaliknya.
Namun, jalanan lancar di Ibukota dan banyak kota di Indonesia itu bukannya dinikmati dengan rasa sukacita. Tetapi dengan ratapan. Kepedihan.
Pasalnya, tak ada mobilitas manusia, berarti tak ada aktivitas ekonomi. Itu adalah indikator atau penanda bahwa ekonomi mati suri.
Benar saja, sejak kuartal kedua tahun lalu hingga akhir tahun, perekonomian terkontraksi. Ekonomi Indonesia mengalami resesi.
Dan sepanjang tahun lalu, ekonomi tumbuh minus 2,07%, di atas ekspektasi semula karena pandemi Covid-19 berlangsung jauh lebih dalam. Dan lama.
***
Hari-hari ini, saya amati, semakin bertebaran kabar baik. Angka kasus aktif Covid-19 di Indonesia tampaknya cenderung terus menurun.
Di seluruh dunia, dari total kasus sebanyak 118,7 juta lebih, kasus aktif masih sekitar 21,7 juta. Kabar baiknya, di Indonesia, dari total kasus sebanyak 1,4 juta lebih, kasus aktif terus berkurang. Per 11 Maret, kasus aktif tinggal 141 ribu lebih. Kasus aktif adalah jumlah penderita Covid-19 yang masih dinyatakan sakit.
Kalau dibandingkan rasio kasus aktif dengan total kasus, Indonesia jauh lebih baik dibandingkan rasio dunia. Rasio kasus aktif per total kasus Indonesia sekitar 10%, sedangkan dunia sekitar 18%.
Itu berdasarkan data resmi. Namun, informasi yang saya dengar dari Satgas Covid-19 BPNP, saat ini kasus aktif di Indonesia sudah jauh berkurang lagi, kisarannya tinggal di bawah 100.000 kasus.
Perbedaan itu terjadi karena adanya lagtime data yang masuk dari daerah-daerah dengan data di pemerintah pusat. Update terbaru jumlah pasien yang sembuh mengalami kelambatan.
Bila hal itu benar, artinya ada sebuah kemajuan yang pesat dalam pengendalian Covid-19 dalam sebulan terakhir ini. Bandingkan dengan ledakan kedua yang memuncak pada akhir November hingga Januari lalu.
Bahkan, saya percaya apabila tren penurunan jumlah kasus aktif itu lebih ditonjolkan --ketimbang jumlah total kasus-- dalam pengumuman publik, rasa percaya diri dan keyakinan masyarakat akan semakin meningkat.
Apabila penonjolan informasi kasus aktif yang terus menurun itu dapat dilakukan, saya percaya akan menjadi kabar yang sangat baik. Optimisme akan semakin tebal, sehingga aktivitas ekonomi akan lebih bergeliat.
Di sisi lain, progress atau kemajuan program imunisasi Covid-19 di Indonesia juga berjalan cepat. Data terakhir yang saya catat, jumlah penduduk yang sudah mendapatkan vaksin Covid-19 sudah mencapai 4 juta lebih.
Dengan tren kenaikan harian vaksinasi yang terus meningkat, akan menancapkan ekspektasi baru bahwa semakin banyak penduduk yang memiliki imunitas terhadap paparan virus penyebab Covid-19.
Dengan dua variabel tersebut, bukan tidak mungkin pemulihan kesehatan masyarakat dari risiko Covid-19 akan semakin akseleratif. Sebuah harapan baru yang menggembirakan.
***
Maka, cerita tentang kian macetnya jalanan di Jakarta dan kepadatan lalulintas barang di jalan tol Trans-Jawa, bukanlah tanpa alasan.
Fenomena macet ini menjadi petunjuk jelas bahwa mulai terjadi pembalikan kondisi mobilitas masyarakat. Kemacetan lalulintas adalah indikator nyata bahwa mobilitas manusia semakin meningkat.
Saya selalu ingat dengan joke yang dulu kerap dilontarkan Pak JK. Menurut Wakil Presiden di era Pak SBY dan Pak Jokowi itu, macet berarti ekonomi berputar. Semakin macet jalanan di Jakarta, berarti perputaran ekonomi semakin kencang.
Saya sejak dulu sependapat dengan joke itu. Pengalaman puluhan tahun tinggal di seputar Jakarta dengan mobilitas tiap hari Tangerang-Jakarta, indikator lalulintas itu memang sangat mewakili perkembangan ekonomi.
Maka, saya tentu punya ekspektasi yang tinggi bahwa kemacetan di Jakarta dua pekan terakhir ini adalah indikator yang positif.
Macet itu menyenangkan. Tak perlu diratapi. Saya tentu berharap, kondisi itu menjadi pertanda bahwa kegiatan ekonomi sudah mulai berjalan dengan lebih kencang.
Ini tentu menjadi berita baik. Jika mobilitas manusia dalam kota dan antarkota --dan diharapkan antarpulau-- terus meningkat, dan dengan kecepatan yang akseleratif, bukan tidak mungkin pemulihan ekonomi tahun ini akan berjalan lebih baik dari perkiraan.
Pemerintah dan banyak lembaga internasional memasang target pertumbuhan ekonomi tahun ini 4,5% hingga 5%. Bukan tidak mungkin, jika program vaksinasi sukses, pengendalian Covid-19 semakin berhasil, dan mobilitas manusia semakin tinggi dengan tanpa mengabaikan disiplin pada protokol kesehatan, pertumbuhan ekonomi akan lebih melesat.
Nah, bagaimana menurut Anda?