Bisnis.com, JAKARTA - Industri kecil menengah (IKM) nasional disarankan segera menerapkan teknologi digital dan otomasi, serta mengubah cara dan pola pikir dalam pengelolaan bisnisnya untuk mengambil peluang besar dalam percepatan pemulihan bisnis pasca pandemi.
Sebagai sektor mayoritas yang mendominasi dari jumlah populasi industri manufaktur di Indonesia, IKM memiliki peran signifikan dalam mendorong percepatan sektor manufaktur nasional pasca pandemi. Sektor manufaktur sendiri merupakan salah satu sektor andalan Indonesia dan menjadi sektor prioritas dalam revolusi industri 4.0 yang diharapkan mengantarkan Indonesia menjadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia berdasarkan PDB pada tahun 2030 mendatang. Oleh karena itu, kesuksesan program Making Indonesia 4.0 dan percepatan pemulihan ekonomi tidak dapat terlepas dari peran IKM nasional.
Pemerintah melalui Ditjen IKMA telah melakukan berbagai upaya dalam mendukung pengembangan sektor IKM nasional antara lain pembinaan dan peningkatan kemampuan sentra IKM, pengembangan produk IKM, penumbuhan wirausaha baru IKM, restrukturisasi mesin dan peralatan IKM, serta e-Smart IKM. Dalam masa pandemi, pemerintah juga telah memberikan berbagai stimulus untuk membantu sektor IKM bertahan mengingat sektor ini cukup terdampak signifikan. Tentunya berbagai program dan stimulus ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pelaku IKM nasional dengan tidak hanya berorientasi pada pemulihan bisnis jangka pendek namun juga jangka panjang. Hal ini agar sektor IKM nasional dapat kompetitif menghadapi persaingan industri global masa depan yang semakin menekankan pada prinsip-prinsip keberlanjutan.
Pandemi mengingatkan kita bahwa krisis dapat terjadi kapan saja bahkan ketika ekonomi dalam kondisi yang cukup stabil. Pergerakan bisnis terhambat, banyak sektor industri terpukur dan tidak sedikit yang harus menelan kepahitan. Namun begitu, banyak juga pelaku industri yang dapat bertahan di masa krisis ini dan mereka adalah perusahaan yang telah memulai transformasi digital.
Belajar dari pandemi covid-19, kemampuan perusahaan untuk dapat mengelola operasionalnya secara lebih efisien, dan dapat tetap produktif di tengah pembatasan interaksi sosial menjadi faktor penting dan menentukan tingkat ketahanan bisnisnya. Efisiensi operasional dalam hal ini adalah bagaimana perusahaan menjalankan kegiatan bisnisnya melalui pengelolaan sumber daya yang cerdas untuk menghasilkan produktivitas yang lebih baik dan dapat mengurangi beban operasional. Salah satu beban operasional yang berkontribusi cukup signifikan terhadap biaya produksi adalah biaya energi dengan kisaran antara 20-30 persen.
Hedi Santoso, Business Vice President Industrial Automation Schneider Electric Indonesia & Timor Leste dalam keterangan terhadap Bisnis, Kamis (4/3/) menyampaikan “Pengelolaan energi menjadi salah satu area kritis dimana resikonya cukup tinggi dan area bisnis yang harus dioptimalkan oleh IKM agar dapat kompetitif dan berkelanjutan. Di era margin yang semakin ketat dan peningkatan daya saing, mengembangkan rencana pengelolaan energi memungkinkan IKM untuk memangkas biaya operasional, meningkatkan efisiensi, dan memastikan kelangsungan bisnis dalam lanskap energi yang terus berubah.”
“Pemanfaatan teknologi digital dalam pengelolaan energi dapat membantu perusahaan menganalisa konsumsi energinya, dan mengambil keputusan berdasarkan data real-time untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya energi hingga 50 persen. Digitalisasi memungkinkan perusahaan memiliki kemampuan analisa prediktif berbasis data atas kemungkinan terjadinya gangguan serta melakukan tindakan preventif sebelum terjadi kegagalan yang dapat merugikan perusahaan, sehingga menciptakan lingkungan operasional yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” tambah Hedi.
Kesadaran konsumen akan korelasi antara pilihan produk yang dikonsumsi dengan konstribusinya terhadap dampak lingkungan terus meningkat. Gerakan mengurangi penggunaan kantong plastik, menggunakan produk daur ulang, menghemat penggunaan listrik dan air sedikit demi sedikit mulai menjadi kebiasaan baru. Konsumen di negara yang sudah lebih maju bahkan telah meminta brand produk yang dikonsumsinya untuk secara transparan mengaudit kegiatan operasionalnya berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan termasuk salah satunya penurunan emisi gas rumah kaca dengan pengelolaan energi yang lebih baik dan pemanfaatan energi terbarukan.
Konsumsi energi listrik diperkirakan akan meningkat signifikan dalam dua dekade ke depan yang diakibatkan oleh pertumbuhan populasi masyarakat yang diprediksi mencapai 8,5 miliar orang pada 2030, dan produksi energi listrik akan bertumbuh lebih dari 70 persen dalam 20 tahun ke depan yang dipicu oleh urbanisasi dan standar hidup yang tinggi. Tuntutan konsumen masa depan terhadap keberlanjutan lingkungan ini akan menciptakan standar baru di industri dan menjadi alarm untuk segera mengambil langkah perubahan dalam pengelolaan kegiatan bisnisnya. Sektor IKM nasional harus jeli dalam mengantisipasi tantangan masa depan ini terutama agar dapat lebih kompetitif dalam menggarap pasar global.
Cepat atau lambat, mau tidak mau, sektor industri termasuk IKM nasional harus beralih dari pengelolaan konvensional dan membuat rencana pengelolaan energi yang lebih strategis.
“Sekarang adalah waktunya bagi IKM nasional yang ingin memperkuat keunggulan kompetitif mereka, meningkatkan profitabilitas mereka, memenuhi ekspektasi pemerintah dan konsumen masa depan, serta memastikan kelangsungan bisnis mereka, untuk membuat rencana pengelolaan energi secara lebih strategis. Di Schneider Electric, kami menyaksikan langsung bagaimana klien kami dari sektor IKM dapat bertahan di masa pandemi dengan semakin produktif dan efisien melalui pemanfaatan solusi digital kami yang terbuka dan dapat diskalakan,” tutup Hedi.