Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom: PPnBM dan DP 0 Persen Sulit Kerek Pertumbuhan Ekonomi

Ekonom Indef menilai pertumbuhan ekonomi tidak serta merta meningkat usai pemerintah memberikan insentif PPnBM dan DP 0 persen untuk kendaraan bermotor.
Ilustrasi pabrik mobil Hino di Karawang, Jawa Barat./ Dok. HINO
Ilustrasi pabrik mobil Hino di Karawang, Jawa Barat./ Dok. HINO

Bisnis.com, JAKARTA - Insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) dan uang muka (down payment/DP) 0 persen untuk kendaraan bermotor dinilai tidak akan memberi banyak dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi. Penjualan kendaraan bermotor disebut tetap bisa tumbuh meski tanpa diskon ini.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan meski konsumen memperoleh keuntungan dengan harga produk yang lebih murah, hal ini tidak serta-merta langsung mengerek konsumsi. Konsumen tetap akan mempertimbangkan pengeluaran sekunder.

“Insentif pajak ini tidak akan signifikan ke penjualan. Selain karena pendapatan yang susah selama pandemi, sebenarnya pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor sudah tinggi, sekitar 5 persen tanpa insentif,” kata Esther, Selasa (23/2/2021).

Data publikasi CEIC menunjukkan penjualan kendaraan bermotor Indonesia mengalami penurunan tajam secara bulanan dari Maret ke April 2020, dari 76.811 unit menjadi hanya 7.868 unit. Penjualan mulai memperlihatkan perbaikan mulai Juli 2020 dengan total 25.283 unit dan perlahan naik menjadi 57.129 unit pada Desember 2020.

Studi dari Litbang Kementerian Perindustrian yang dikutip Esther pun memperlihatkan kehadiran insentif pajak otomotif 0 persen tidak berdampak besar terhadap ekonomi makro. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil diperikirakan tidak tumbuh dan konsumsi riil masyarakat hanya terkerek 0,10 persen. Selain itu, dampaknya terhadap volume ekspor pun hanya mengungkit pertumbuhan 0,19 persen dan pada impor sebesar 0,46 persen.

Esther juga menjelaskan bahwa obral PPnBM berpotensi mengurangi penerimaan pajak negara sebesar Rp2,28 triliun. Insentif pajak pun dinilai kurang tepat digulirkan mengingat rasio pajak terhadap PDB nasional cenderung rendah. Kementerian Keuangan memperkirakan rasio pajak pada 2020 hanya berada di level 7,90 persen, turun dibandingkan dengan 2019 yang berada di angka 9,76 persen.

“Pemerintah seharusnya fokus ke penanganan pandemi dan tidak mengobral insentif pajak karena rasionya rendah. Kita perlu generate income lebih banyak agar ruang fiskal lebih luas selama pandemi,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Senior Indef Aviliani mengemukakan pemerintah bisa mempercepat proyek infrastruktur nasional jika ingin mengejar pertumbuhan ekonomi yang positif pada kuartal I. Dengan dana sekitar Rp400 triliun, pembangunan bisa mempercepat penyerapan tenaga kerja sehingga daya beli tercipta.

“Dari dana desa yang sekarang dialihkan ke padat karya pun perlu dipercepat, multiplier effect terhadap permintaan atau daya bali akan naik signifikan. Begitu pula penyaluran bantuan tunai langsung. Hal ini paling tidak memperbaiki pendapatan masyarakat,” kata Aviliani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper