Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI7DRR Terendah, Waspada Interpretasi Negatif & Investasi Buruk

Bank Indonesia terus menekan BI7DRR hingga di level 3,5 persen dengan tujuan mendorong pemulihan ekonomi yang tergerus pandemi Covid-19. Namun, ada sejumlah hal yang harus diwaspadai. Pelaku pasar mungkin pula berpikir bahwa bank sentral mengkhawatirkan kondisi ekonomi saat ini dan oleh karena itu, mungkin menjadi lebih konservatif dan menahan diri. Hal lain, berpotensi muncul investasi yang tak berkelanjutan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo./Dok. Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo./Dok. Bank Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan untuk yang keenam kali sejak awal Covid-19, membawa ke rekor terendah untuk mendukung pemulihan ekonomi. Keputusan itu membuat BI 7-Day (Reverse) Repo Rate (BI7DRR) 3,5 persen, rekor terendah sepanjang masa.

The Center for Market Education (CME), yang berbasis di Malaysia, mengajak BI berhati-hati dengan langkah selanjutnya ke arah yang sama. Jangan sampai terjadi malinvestasi atau penanaman modal yang tak berkelanjutan.

Menurut CEO CME Carmelo Ferlito, CEO CME untuk pemulihan berkelanjutan yang tidak digelembungkan oleh kredit buatan, harus didukung oleh pemulihan daya beli dan tabungan baru yang diperlukan untuk membiayai investasi berkelanjutan pula.

Carmelo Ferlito, CEO CME, mengemukakan bahwa memang, jika itu akan bekerja dengan sempurna seperti yang dijelaskan oleh buku teks yaitu menurunkan tarif untuk merangsang ekonomi dan menaikkannya untuk mendinginkan harga, kebijakan moneter akan menjadi alat yang mudah dan kita tidak akan mengalami krisis ekonomi.

Namun, menurut dia sebagaimana dikutip dari dalam laman resmi CME, tindakan bank sentral didasarkan pada informasi masa lalu dan informasi selalu berkembang, dan perlu waktu untuk tindakan tersebut menghasilkan efek dengan semakin besar jeda waktu, semakin besar evolusi konteksnya.

“Kebijakan moneter adalah sinyal yang lebih dari sekadar fakta objektif. Dengan menurunkan tingkat bunga, bank sentral ingin menyampaikan bahwa lebih banyak sumber daya keuangan tersedia untuk investasi atau meminjam uang sekarang lebih murah,” tuturnya.

Menurut Ferlito, pengaruhnya pada ekonomi riil tidak otomatis seperti yang biasa kita pikirkan. “Kebijakan moneter perlu diinterpretasikan oleh agen ekonomi dan konsekuensinya akan bergantung pada interpretasi tersebut,” lanjutnya.

Salah satu interpretasi potensial adalah bahwa lebih banyak sumber keuangan tersedia atau uang menjadi lebih murah dan ini pada akhirnya memerlukan lebih banyak investasi, yang mungkin juga merupakan investasi yang buruk.

Namun, Ferlito mengingatkan bahwa itu bukan satu-satunya interpretasi yang mungkin muncul. Pelaku pasar mungkin pula berpikir bahwa bank sentral mengkhawatirkan kondisi ekonomi saat ini dan oleh karena itu, mungkin menjadi lebih konservatif dan menahan diri.

Singkatnya, ekonomi dibuat oleh miliaran tindakan individu yang dihubungkan oleh interpretasi sinyal; dalam sistem seperti itu, tidak ada yang otomatis dan hasil dari suatu tindakan bersifat terbuka.

“Ketika kami percaya bahwa tingkat bunga adalah pendorong utama investasi, kami mengabaikan fakta dasar bahwa keputusan kewirausahaan terutama didorong oleh ekspektasi keuntungan. Cukup melihat hasil beragam yang dihasilkan oleh pelonggaran kuantitatif di Eropa: Jika pebisnis tidak mengharapkan masa depan yang cerah, betapa pun rendahnya tingkat suku bunga, mereka tidak berinvestasi,” paparnya.

Ferlito menambahkan bahwa pemangkasan bunga lebih lanjut dapat mendorong kecenderungan inflasi. Padahal, dari sisi inflasi, lanjutnya, saat ini kita mengalami tren yang saling bersaing. Krisis Covid-19 mendorong harga turun, sedangkan stimulus fiskal yang berbeda mendorong ke arah berlawanan.

“Jika kecenderungan inflasi terjadi, daya beli akan terganggu pada saat yang sudah sulit. Sebaliknya, sekarang kami memerlukan daya beli untuk dipulihkan dan tabungan dibangun kembali untuk memberikan penciptaan dana yang tersedia untuk investasi.”

Dia menambahkan bahwa overnight policy rate (OPR) yang terlalu rendah pada akhirnya dapat memicu investasi buruk, karena investasi dilakukan daripada tidak akan dilakukan dalam keadaan yang berbeda yaitu dilakukan hanya karena "uang atau dana itu murah" dan oleh karena itu mereka akan menggerakkan perekonomian yang jalannya tidak berkelanjutan.

Sementara ekonomi Indonesia berjuang menuju pemulihan, dan Indonesia memainkan permainan cerdas dalam pertandingan menarik foreign direct investment (FDI), penting bahwa benih ditanam adalah untuk pemulihan berkelanjutan, yang tidak digelembungkan oleh kredit buatan, melainkan didukung oleh pemulihan daya beli dan tabungan baru yang diperlukan untuk membiayai investasi berkelanjutan pula.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper