Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Holding Ultramikro Perlu Perluas Cakupan Kolaborasi

Selama ini, sebagian besar dari pelaku usaha segmen ultramikro masih kesulitan mengakses sektor keuangan.
Pekerja memotret produk sepatu Prospero yang akan dipasarkan melalui platform digital di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (3/7/2020). Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 9,4 juta UMKM sudah menggunakan atau memasarkan produknya melalui pasar e-commerce dan mendapatkan manfaat penggunaan teknologi digital untuk transaksi lintas batas./ANTARA FOTO-Adeng Bustomi
Pekerja memotret produk sepatu Prospero yang akan dipasarkan melalui platform digital di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (3/7/2020). Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 9,4 juta UMKM sudah menggunakan atau memasarkan produknya melalui pasar e-commerce dan mendapatkan manfaat penggunaan teknologi digital untuk transaksi lintas batas./ANTARA FOTO-Adeng Bustomi

Bisnis.com, JAKARTA – Kehadiran Holding Ultramikro diyakini menjadi peluang bagi dunia usaha Indonesia untuk memperbaiki geliatnya.

Pasalnya, program tersebut langsung mengarah ke bagian vital dari struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menyumbang 60 persen terhadap PDB.

Namun, rencana pembentukan Holding Ultramikro oleh pemerintah dinilai perlu memperluas cakupan kolaborasi untuk memperlebar akses bagi pelaku usaha ultramikro dalam melakukan pinjaman modal usaha.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal berpendapat perluasan cakupan kolaborasi tersebut dikatakan penting seiring dengan tren peminjaman modal usaha yang berkembang di sektor ultramikro dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di mana peminjaman melalui platform teknologi marak.

Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir peminjaman uang dari pelaku usaha segmen ultramikro kepada platform fintech berkembang cukup pesat, sehingga dirasa perlu untuk dilakukan perluasan kolaborasi dengan menggandeng perusahaan di sektor tersebut.

“Selain itu, tren tersebut menunjukkan bahwa suku bunga bukan menjadi pertimbangan utama bagi pelaku usaha mikrokecil dalam mengatur rencana peminjaman,” ujar Fithra kepada Bisnis, Selasa (9/2/2021).

Masalahnya, sambung Fithra, selama ini sebagian besar dari pelaku usaha segmen ultramikro kesulitan mengakses sektor keuangan. Ia menyebut jumlah pelaku usaha ultramikro yang masih kesulitan mengakses sektor keuangan mencapai 30 juta unit usaha.

Selama itu pula, lanjutnya, pelaku usaha ultramikro cenderung meminta pinjaman modal usaha kepada lender-lender berbunga tinggi yang tak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) alias rentenir.

Berdasarkan pengalaman tersebut, pelaku usaha ultramikro pada dasarnya tidak terlalu terpengaruh dengan suku bunga pinjaman.

“Permasalahannya bukan suku bunga, tapi akses. Holding Ultramikro harus mampu menyelesaikan masalah akses terhadap pelaku usaha segmen ultramikro yang lebih dekat dengan Pegadaian dan PNM, namun tidak bisa memberikan pinjaman dalam modal besar,” kata Fithra.

Menyambung hal itu, fintech dinilai bisa menjadi jembatan permasalahan akses pelaku usaha ultramikro terhadap sektor keuangan. Hal ini menjadi kian vital karena struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia 60 persen dikontribusikan oleh UMKM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper