Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai tumpuan perekonomian nasional, sektor industri di Indonesia perlu diperkuat. Salah satunya melalui pengembangan subsektor petrokimia, yaitu industri metanol.
Metanol menempati posisi penting di industri hilir karena digunakan menjadi bahan utama tekstil, plastik, resin sintetis, farmasi, insektisida, dan industri kayu lapis. Selain itu juga digunakan sebagai bahan baku methanolisis untuk menghasilkan biodiesel.
Namun saat ini Indonesia hanya memiliki satu produsen metanol yang berlokasi di Kalimantan Timur dengan kapasitas produksi maksimum 660.000 ton per tahun. Berdasarkan pangsanya, sekitar 70 persen dari total produksi diekspor ke Jepang, Korea Selatan, China, dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya.
Pada sisi lain, kebutuhan metanol di Indonesia tercatat sangat tinggi, mencapai 1,1 juta ton per tahun yang sebagian besar dipenuhi oleh impor. Nilai impor metanol pada 2019 tercatat US$279,17 juta, jauh lebih tinggi dari nilai ekspornya yang hanya US$63,40 juta, sehingga menjadikan posisi Indonesia sebagai net importir metanol.
Tantangan utama yang kerap dihadapi oleh industri metanol di Indonesia adalah pada sisi bahan baku gas alam yang memiliki tingkat harga relatif tinggi dan juga terus mengalami natural declining di sisi hulu migasnya.
Di Kalimantan Timur, tempat industri metanol mendapat pasokan gas, terjadi penurunan rata-rata kinerja lifting migas sebesar 13,41 persen (yoy) per tahun dalam satu dekade terakhir. Selain itu, harga gas di Indonesia yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain membuat biaya produksi industri metanol secara keseluruhan menjadi kurang ekonomis.
Alhasil, Indonesia harus mempertimbangkan bahan baku alternatif lokal yang lebih murah dan berlimpah untuk mengatasi tingginya biaya produksi agar mampu memenuhi permintaan metanol, baik dari dalam negeri maupun global.
Dalam kaitan itu, Indonesia terus berkomitmen memenuhi permintaan metanol domestik untuk menekan impor melalui hilirisasi batu bara menjadi metanol. Hal tersebut bisa menjadi solusi dari keterbatasan bahan baku berupa gas alam sekaligus memaksimalkan potensi nilai batu bara untuk bisa menjadi lebih tinggi.
Pasalnya selama ini batu bara tidak dilakukan pengolahan lebih lanjut, sehingga hanya dijual dengan harga rendah. Proyek hilirisasi batu bara menjadi metanol diinisiasi oleh konsorsium PT Bakrie Capital Indonesia (Grup Bakrie), PT Ithaca Resources, dan Air Products dari Amerika Serikat.
Baca Juga : Menteri ESDM Pastikan Proyek DME Ekonomis |
---|
Konsorsium tersebut telah menandatangani perjanjian definitif kontrak jangka panjang untuk membangun pabrik pengolahan batu bara menjadi metanol berskala global di Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, Indonesia. Nilai investasinya sekitar US$2 miliar dan konstruksinya diharapkan selesai dan siap beroperasi pada akhir 2024
Perusahaan coal to methanol tersebut nantinya memiliki kapasitas produksi hingga 1,8 juta ton per tahun metanol dan diprakirakan mampu memenuhi 1,1 juta ton per tahun kebutuhan domestik dan juga bisa menjadi sumber cadangan devisa nasional. Berdasarkan analisis Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Timur, adanya inisiasi proyek pengolahan batu bara menjadi metanol ini berpotensi menghemat cadangan devisa hingga US$284,94 juta dan menurunkan defisit rekening koran (CAD) Indonesia.
Inisiasi proyek metanol berbasis batu bara ini cukup prospektif dan lebih sustain mengingat melimpahnya ketersediaan sumber daya batu bara di Indonesia. Sumber daya batu bara nasional tercatat mencapai 149 miliar metrik ton pada 2019 dengan rata-rata peningkatan per tahun 4,13 persen (yoy) dari 2010—2019.
Spesifik di Kalimantan Timur, inilah provinsi dengan sumber daya batu bara terbesar di Indonesia, mencapai 40 persen dari total sumber daya batu bara nasional dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 6,30% (yoy) per tahun dalam satu dekade terakhir.
Dengan adanya proyek metanol berbasis batu bara juga akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan, baik bagi Indonesia maupun Kalimantan Timur karena mampu mengakhiri tradisi penjualan komoditas mentah tanpa ada pengolahan lebih lanjut.
Sebagai perbandingan, dalam 10 tahun terakhir harga metanol dunia tercatat lebih tinggi 386 persen dibandingkan dengan harga batu bara global. Ada pula daya tarik di sisi permintaan. Kebutuhan metanol dalam negeri diproyeksikan meningkat setiap tahun seiring dengan program Mandatory B30 Biodiesel yang terus digalakkan.
Pemerintah menargetkan pendistribusian biodiesel hingga 9,20 juta Kiloliter (KL) B30 pada 2021, jauh lebih tinggi dari pencapaian tahun sebelumnya sebesar 8,46 juta KL karena munculnya dampak pandemi Covid-19.
Keberlanjutan dan perluasan program mandatory biodiesel di Indonesia yang diprakirakan targetnya terus meningkat akan memperkuat prospek cerah industri metanol sebagai salah satu bahan baku utama pembuatan biodiesel.