Bisnis.com, JAKARTA - Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi hasil perikanan Indonesia tidak kurang dari 65 juta ton per tahun. Namun, Indonesia belum juga berjaya dalam perdagangan hasil perikanan. Ekspor pada 2018 baru mencapai US$4,49 miliar yang menempatkan Indonesia di posisi ke-15 di bawah Thailand (3) dan Vietnam (4).
Udang masih menjadi primadona. Pada 2019 nilai ekspornya US$1,72 miliar, diikuti tuna-cakalang US$0,75 miliar. Selanjutnya, cumi-sotong-gurita, rajungan-kepiting dan rumput laut berturut-turut US$556,3 juta, US$393,5 juta, dan US$324,9 juta. Untuk mengejar ketertinggalan sekaligus mengincar lima besar dunia, pemerintah tergiur jalur cepat dengan mencanangkan program menaikan ekspor udang hingga 250 persen pada 2024.
Sayangnya, sejak dicanangkan 2019 peta jalan dan rencana detail program masih dalam kajian, tidak mudah menentukan strategi dan perencanaan. Ketika data, jumlah, luas, sistem budidaya, produktivitas, dan sebaran tambak tidak tersedia.
Pelaku usaha hanya bisa menunggu. Optimisme dan keraguan bercampur-baur. Apakah program ini realisitis dan do-able atau seperti banyak program terdahulu, muncul sesaat kemudian perlahan hilang?
Pada 2019, ekspor udang Indonesia mencapai 207.000 ton dimana lebih dari 80 persen hasil budidaya di tambak. Umumnya, udang diekspor dalam bentuk beku atau frozen peeled dan shell-on dengan rendemen rata-rata 65 persen. Konsumsi domestik tidak lebih dari 0,2—0,5 kg per kapita, sehingga produksi diperkirakan tidak lebih dari 450.000 ton. Menariknya, di masa pandemi Covid-19 tren permintaan produk olahan meningkat.
Diperkirakan volume ekspor produk ready to cook dan ready to eat tahun lalu naik 40 persen. Ini kesempatan mendorong produk bernilai tambah (value added) untuk menggenjot nilai ekspor. Tahun lalu, harga rata-rata produk naik 3 persen dan bila kenaikan konsisten hingga 4 tahun ke depan. Target peningkatan ekspor 250 persen cukup dengan ekspor 425.000 ton.
Dari data kami pada 2018, beroperasi sekitar 8.500 hektare (ha) dan 26.000 ha tambak intensif dan semi intensif dengan luas efektif masing-masing sekitar 6.100 ha dan 15.700 ha. Produktivitas rata-rata masih tergolong rendah, masing-masing hanya sekitar 30 ton dan 7 ton/ha/tahun.
Selain itu, ada sekitar 300.000 ha tambak tradisional tersebar di berbagai pelosok Tanah Air. Karena kerusakan lingkungan dan memburuknya kualitas perairan, produktifitas kini hanya sekitar 300—400 kg/ha/tahun.
Mengingat produktivitas tambak masih jauh dari potensinya, cara cepat menggenjot produksi melalui revitalisasi. Langkah ini dilakukan dengan memperbaiki saluran irigasi, menerapkan teknologi tepat guna dan introduksi benur unggul yang tumbuh cepat dan tahan penyakit.
Pada kawasan tambak ber-infrastruktur baik dengan standar operasional prosedur (SOP) yang tepat, banyak petambak yang produktivitasnya 2—3 kali dari rata-rata nasional. Artinya, melipatgandakan produksi melalui revitalisasi kawasan tambak sangat mungkin dilakukan.
Udang Indonesia sulit diterima Eropa dengan pangsa pasar saat ini 1,7 persen, karena masalah tarif impor, sertifikasi dan isu lingkungan. Untuk menembus pasar China (pangsa pasar 1,5 persen), biaya produksi harus ditekan.
Solusi untuk keduanya adalah implementasi Sustainable-Sylvo-Shrimp Farming, paradigma baru tambak modern ramah lingkungan. Agar lebih efisien, konsep multi-trophic aquaculture, yaitu tumpang sari antara bandeng, kakap, tilapia salin dan kepiting dipadu dengan program rehabilitasi hutan bakau dalam konsep akua-edu-ekowisata.
Ketika mencanangkan program, tentu pemerintah tidak bermaksud membuka tambak udang sendiri. Pemerintah dituntut menciptakan iklim usaha yang kondusif. Investor akan berbondong datang sendiri bila iklim investasi menarik. Alhasil diperlukan aksi nyata. Pertama, menjamin rasa aman dan kepastian berusaha.
Pemerintah harus segera mempermudah dan menyerderhanakan perizinan. Kedua, membangun infrastruktur di kawasan tambak. Instalasi pengolahan air limbah kolektif dikelola bersama demi menjamin budidaya berkelanjutan.
Ketiga, introduksi teknologi tepat guna ramah lingkungan. Pilot project diperlukan untuk meningkatkan produktivitas tambak tradisional. Paling tidak sekitar 300.000 ha tambak tradisonal harus naik kelas menjadi tambak tradisional plus dengan produktivitas minimal 0,8-1,0 ton/ha/tahun.
Keempat, menjamin ketersediaan induk unggul. Dalam satu uji coba organoleptik di Jepang, udang jerbung (Penaeus merguiensis) ternyata lebih disukai dibandingkan dengan udang windu dan vaname.
Kelima, membuat regulasi, menjaga kelestarian lingkungan, keamanan pangan dan keberlanjutan usaha. Sertifikasi tambak harus didorong dan dipermudah untuk menjamin persyaratan traceability yang diminta pembeli. Keenam, meningkatkan promosi dan branding. Ketujuh, menurunkan tingkat resiko usaha. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan memberi kemudahan agar aset tambak bisa dijadikan agunan.
Untuk mencapai target yang dicanangkan, pemerintah tidak perlu gamang dan merasa sendirian. Program peningkatan ekspor udang 250 persen ditunggu petambak, dianggap realistis dan do-able. Pemerintah hanya harus lebih terbuka, sehingga sejak program direncanakan perlu dibangun komunikasi yang terbuka, jujur dan efektif antara pemerintah dan pelaku usaha.