Bisnis.com, JAKARTA - Dukungan fiskal dan moneter yang luar biasa dari pemerintah berbagai negara untuk melawan pandemi virus Corona dinilai telah gagal meningkatkan investasi manufaktur yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan pekerjaan.
Sebaliknya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan dalam laporan World Economics and Situation Prospect bahwa manfaat terbesar stimulus mengalir ke pasar keuangan, mendorong harga saham lebih tinggi.
"Jika Anda memegang saham Amazon, tentu saja Anda bernasib sangat baik saat ini. Namun, jika Anda adalah orang biasa yang berpikir tentang prospek pekerjaan untuk tiga tahun sampai lima tahun ke depan, situasinua tidak terlihat sangat baik," kata Hamid Rashid, kepala pemantauan ekonomi global di PBB, dilansir Bloomberg, Selasa (26/1/2021).
Rashid menjelaskan pihaknya melihat ada kenaikan besar-besaran pada harga aset keuangan dan semakin terputusnya hubungan antara kinerja ekonomi riil dan kinerja sektor finansial.
Laporan menandai pukulan ekonomi yang masif seiring dengan meluasnya dampak pandemi, bahkan dengan percepatan distribusi vaksin. Negara-negara mulai dari Malaysia hingga Inggris memperketat pembatasan virus dalam beberapa pekan terakhir, sementara rekor kematian harian telah dicatat di Amerika Serikat hingga Indonesia.
Aset berisiko yang sudah mendukung prospek vaksin Covid-19 mendapatkan momentum baru dari taruhan bahwa kendali Demokrat atas Senat AS akan memacu stimulus fiskal lebih lanjut.
Baca Juga
Presiden Joe Biden telah menyerukan paket stimulus US$1,9 triliun, sebuah proposal yang hanya mendapat sedikit dukungan dari Partai Republik, menyusul tagihan pengeluaran US$900 miliar yang disahkan Kongres bulan lalu.
Upaya di seluruh dunia untuk meningkatkan ekonomi, menghasilkan neraca bank sentral yang membengkak pada 2020, tumbuh ke rekor untuk Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa. Bank of America Corp. mengharapkan neraca Fed mencapai 42 persen dari produk domestik bruto AS tahun ini.
Dengan meningkatnya defisit fiskal, total utang publik di seluruh dunia meningkat sekitar US$9,9 triliun pada 2020.
“Ini adalah peningkatan utang publik terbesar sejak Perang Dunia Kedua. Pemerintah di seluruh dunia meminjam dari masa depan untuk meminimalkan dampak krisis terhadap generasi saat ini," tulis para ekonom.
Ekonom PBB mengatakan output di negara maju kemungkinan menyusut sebesar 5,6 persen pada 2020, dengan pertumbuhan diproyeksikan pulih menjadi 4 persen pada 2021.
Karena penutupan virus yang kurang ketat, negara-negara berkembang mengalami kontraksi yang relatif tidak terlalu parah, dengan output menyusut 2,5 persen pada 2020. Ekonomi mereka diproyeksikan tumbuh 5,7 persen pada 2021.
Pertumbuhan tahunan dalam perdagangan global diperkirakan 6,9 persen pada 2021 dan 3,7 persen pada 2022, didukung oleh pemulihan dalam perjalanan internasional, menurut laporan itu.