Bisnis.com, JAKARTA - Pelantikan Presiden Terpilih Amerika Serikat Joe Biden tinggal menghitung jam. Di bawah Biden, hubungan dagang dengan Indonesia diprediksi tidak akan banyak berubah dan kedua negara diperkirakan tetap akan menjadi mitra strategis bagi satu sama lain.
Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengatakan meski pendekatan yang akan diambil Biden berbeda dengan pendahulunya, tetapi tujuan yang mendasari kebijakan tetap sama, yakni melawan kekuatan China.
Dalam menggalakkan upaya tersebut Biden akan mengedepankan multilateralisme, tidak seperti Donald Trump yang cenderung unilateral.
"Kemungkinan AS akan menarik tarif unilateral dan tarif retaliasi untuk menciptakan situasi multilateral yang lebih kondusif," katanya dalam webinar bertajuk Prospek Hubungan Ekonomi dan Perdagangan Indonesia-AS di Era Biden, Selasa (19/1/2021).
Bagi Indonesia, AS merupakan mitra dagang terbesar ke-4 setelah China, Jepang, dan Singapura dengan total perdagangan US$27,1 miliar pada 2019.
Dalam kerangka bilateral, Made mengatakan Indonesia akan terus membangun kerja sama strategis dengan menangkap sejumlah peluang, salah satunya dari pemutusan fasilitas Generalized System of Preference (GSP) kepada Turki, India, dan Thailand.
Baca Juga
Dia mengatakan jenis produk yang masuk ke AS dari tiga negara tersebut melalui skema GSP hampir sama dengan Indonesia, sehingga memunculkan peluang untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan.
"Mumpung momentumnya sekarang, AS masih membutuhkan [barang-barang itu]. Ini yang harus kita isi," lanjutnya.
Pemerintah juga telah memiliki kelompok kerja peningkatan ekspor untuk isu GSP dan non-GSP, mengajukan proposal perjanjian dagang akses GSP tanpa syarat, dan revitalisasi dialog perdagangan dan investasi pada paruh pertama 2021.
Sementara itu dalam kerangka multilateral, Indonesia bersama dengan negara-negara yang sepemahaman dapat mendorong AS untuk memperkuat sistem aturan main perdagangan, contohnya melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau G20.
Dorodjatun Kuntjoro, Dewan Pembina Indonesian Institue of Advanced International Studies (Inadis) menambahkan perang dagang AS dan China masih akan menjadi risiko bagi perdagangan dan diplomasi global ke depan. Di bawah Trump, kebijakan ekonomi digunakan sebagai senjata untuk menyerang lawan-lawan dagangnya, sehingga lembaga internasional seperti WTO kehilangan fungsinya sebagai wasit.
"Yang harus kita perhatikan adalah weaponization, ketika dua negara ini sama-sama besar dan tidak merasa berkepentingan untuk cepat-cepat sampai pada persetujuan, sehingga tugas diplomasi sudah tidak ada," katanya.