Bisnis.com, JAKARTA – Anggapan yang menyebut bahwa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar, dinilai banyak kalangan tidak lagi relevan.
PLTU berbahan bakar batu bara masih mendominasi sumber pasokan listrik nasional. Tak hanya di Indonesia, penggunaan batu bara untuk PLTU juga masih dilakukan di berbagai negara.
Seiring hal itu, berbagai inovasi teknologi pun telah diterapkan guna menekan tingkat pencemaran dari proses produksi.
Selain menekan emisi, penerapan teknologi juga membuat penggunaan bahan bakar lebih efektif dan efisien. Semisal, teknologi ultra super critical (USC), memampukan peningkatan efisiensi pembangkit listrik melalui proses pengaturan tekanan dan suhu uap yang masuk ke dalam turbin.
Ketika tekanan dan suhu makin tinggi, maka tingkat efisiensi juga akan semakin tinggi. Hal itu akan membuat semakin rendah karbon.
Dari segi ketersediaan, cadangan batu bara di Indonesia masih sangat besar, sekitar 37,6 miliar ton. Belum lagi sumber daya batu bara yang mencapai 149 miliar ton.
Dengan mempertimbangkan besarnya sumber daya dan cadangan batu bara tersebut, Dewan Energi Nasional (DEN) melalui Rencana Umum Kebijakan Energi Nasional (KEN) lewat Perpres No.22/2017, telah menetapkan bauran energi untuk batubara sebesar 30 % di 2025 dan 25 % di 2050.
“Bagi PLN saat ini, telah mempertegas bahwa batu bara dinilai sebagai bahan bakar energi bagi pembangkit yang sangat efisien,” ujar Singgih Widagdo, Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF), Jumat (8/1/2021).
Apalagi di dalam pemanfaataan batu bara di dalam negeri, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara untuk kelistrikan kebutuhan umum, bukan didasarkan atas indeks harga batubara di pasar internasional.
Di sisi lain, pemerintah telah meratifikasi Paris Agreement yang mewajibkan terjaganya iklim dengan usaha-usaha di bidang lingkungan. Juga, dia menyebut bukan hal yang mudah mendapatkan pendanaan bank internasional dalam membangun PLTU batu bara, kecuali yang dibangun dengan teknologi super critical atau ultra super-critical. Karenanya, Singgih meyakini teknologi PLTU kini jelas ramah lingkungan.
“Dari kondisi saat ini [besarnya kebutuhan dan sistem kelistrikan yang ada], batu bara tentu tetap sebagai pilihan yang strategis,” kata Singgih.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan sebenarnya PLN telah mengembangkan berbagai inovasi terhadap PLTU yang menggunakan batu bara. Dengan demikian, keberadaan sejumlah PLTU itu lebih ramah lingkungan.
“Harapannya memang PLTU yang ada dan sedang dibangun menggunakan batu bara, mestinya bisa diwajibkan menggunakan konversi, sehingga output-nya lebih bersih lingkungan,” ujar Fahmy.
Dia menilai penggunaan batu bara dalam PLTU masih sangat relevan untuk saat ini hingga tahun-tahun ke depannya. Apalagi, ketersediaan batu bara di Indonesia masih banyak. “Kalau kita lihat 57% pembangkit listrik masih memakai batu bara,” imbuhnya.
Dirinya mengusulkan kepada pemerintah untuk mewajibkan PLTU untuk memasuki era baru dalam penggunaan batu bara dengan teknologi maju, seperti penggunaan USC dengan menggunakan emission quality control system (EQCS).
EQCS yang menerapkan flue gas desulfurization (FGD) yang meminimkan sulfur. Teknologi ini digunakan untuk menghilangkan sulfur dioksida dari emisi gas buang pembangkit.
FGD membuat kandungan SO2 yang dilepaskan ke atmosfer, tidak mencemari udara. Upaya meminimalisasi emisi juga dilakukan dengan teknologi selective catalytic reduction (SCR) yang menghilangkan emisi NOx sehingga menjadi partikel yang tak berbahaya.
“Teknologi-teknologi itu sudah ada dipakai dan terbukti lebih ramah lingkungan. Saya kira PLN punya komitmen untuk itu, tinggal kita ingatkan terus,” ungkapnya.