Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memprediksi investasi pada industri pengolahan non migas kembali tumbuh pada 2021. Adapun, salah satu pendorong pertumbuhan tersebut diduga dari relokasi pabrikan China ke dalam negeri.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan investasi ke sektor manufaktur akan naik sekitar 21,96 persen menjadi Rp323,56 triliun. Investasi ke sektor manufaktur pada tahun ini diramalkan tumbuh hingga 24,28 persen menjadi Rp265,28 triliun.
"Kondisi pandemi Covid-19 tampaknya tidak banyak mempengaruhi investasi di Indonesia. Dampaknya sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Banyak relokasi pabrik dari China yang membuktikan Indonesia jadi salah satu tujuan negara yang sangat menarik bagi investor," katanya dalam Konferensi Pers Akhir 2020, Senin (28/12/2020).
Agus mendata pertumbuhan investasi ke sektor manufaktur telah mencapai 37,1 persen secara tahunan hingga akhir kuartal III/2020. Di sisi lain, ucapnya, salah satu yang menarik minat investasi di dalam negeri adalah penerbitan Undang-Undang (UU) No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Adapun, Agus meramalkan akan ada beberapa subsektor manufaktur yang akan populer di mata investor pada 2021. Subsektor yang dimaksud adalah logam, otomotif, kesehatan, dan elektronik.
Agus meramalkan pertumbuhan industri logam dasar sepanjang 2020 akan mencapai 5,57 persen secara tahunan. Tetapi, pertumbuhan tersebut akan melambat menjadi 2,02 persen pada 2021.
Sementara itu, industri kendaraan bermotor pada tahun ini diramalkan anjlok hingga 19,69 persen, sedangkan industri alat angkutan lainnya bakal jatuh paling dalam atau hingga 22,15 persen. Agus menilai perbaikan kondisi kedua subsektor tersebut merupakan yang paling lama dibandingkan dengan sektor lainnya.
Untuk industri kesehatan, Agus meramalkan valuasi industri kesehatan akan masih kecil pada 2021. Kendati demikian, pertumbuhan sektor tersebut secara presentasi akan menjadi yang tercepat.
"In term of size, pertumbuhannya tidak sebesar sektor-sektor lain, [tapi] akan kami dorong agar bisa tumbuh jauh lebih cepat. Ini akan kami kawal terus," katanya.
Di sisi lain, Agus berujar pihaknya telah berdiskusi dengan beberapa investor asal Amerika Serikat untuk menanamkan uangnya di dalam negeri.
Sebelumnya, Agus mengatakan penarikan investasi pada industri bahan baku obat (BBO) memenuhi dua kriteria, yakni substitusi impor dan berbasis teknologi tinggi. Seperti diketahui, sebagian investor yang telah melakukan dialog dengan Kemenperin terkait investasi industri BBO berasal dari Amerika Serikat.
"Kami berpendapat akan ada perbedaan kebijakan dengan terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat terhadap kondisi geopolitik yang berdampak pada ekonomi dunia, khususnya di kawasan ini [industri BBO]. Sehingga, kami perlu mencermati kebijakan presiden terpilih Amerika Serikat tersebut," katanya.
Agus melanjutkan pihaknya telah menyiapkan beberapa insentif fiskal untuk menarik investasi ke industri BBO. Beberapa insentif fiskal yang dimaksud adalah tax holiday, tax allowance, dan super tax deduction.
Di samping itu, Agus menyatakan pihaknya juga telah membuat adanya kepastian berusaha untuk industri BBO. Hal tersebut, ujarnya, tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 16/2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Farmasi.
Permenperin No. 16/2020 mengatur bahwa asal tenaga kerja, permesinan, dan asal material memiliki peranan lebih tinggi dibandingkan nilai investasi. Adapun,kandungan bahan baku memiliki bobot 50 persen, penelitian dan pengembangan sekitar 30 persen, produksi hingga 15 persen, dan pengemasan hanya 5 persen.
Berdasarkan data Kemenperin, ketergantungan impor pada 2020 akan berkurang sebesar 2,72 persen menjadi sekitar 92 persen. Hal tersebut didasarkan oleh produksi beberapa BBO oleh PT Kimia Farma Sungwoon Pharmacopia (KFSP) pada tahun ini, seperti Simvastatin (4,2 ton), Atorvastatin (0,7 ton), Clopidogrel (7,6 ton), dan Entecavir (371 gram).
Sebelumnya, Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Muhammad Taufik mengatakan ketergantungan impor BBO akan terus berkurang hingga 2024. Pada 2024, menurutnya, nilai impor BBO akan berkurang 20,52 persen, artinya ketergantungan impor BBO hanya akan menjadi sekitar 74 persen.