Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo menunjuk mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat Muhammad Lutfi sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Agus Suparmanto.
Di lingkungan Kementerian Perdagangan, M. Lutfi bukan sosok asing.
Dia pernah ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada Februari 2014 menggantikan Gita Wirjawan yang saat itu memilih ikut serta dalam konvensi calon presiden yang digelar Partai Demokrat.
M. Lutfi dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah di jabatan keduanya sebagai Mendag.
Menurut pengamat investasi dan perdagangan Salomo R. Damanik, secara prinsip tugas Kementerian Perdagangan (Kemendag) bertumpu pada dua hal pokok.
Pertama, memastikan ketersediaan bahan pokok di pasar maupun bahan baku untuk keperluan industri dengan kualitas harga yang terjangkau atau menjaga pasar domestik.
Tugas kedua yakni menyiapkan pasar ekspor bagi hasil-hasil produksi nasional, baik pertanian mapun barang-barang hasil industri nasional lainnya atau meretas pasar ekspor.
Salomo menuturkan peran Kemendag dalam menjaga pasar domestik di antaranya memastikan pasokan pasar dalam negeri terkait dengan ketersediaaan dan kualitas yang baik serta memastikan kelancaran mata rantai barang dari sentra industri hingga ke pasar.
Dia berpandangan, kebijakan impor menjadi pilihan strategis terakhir apabila pasokan bahan pokok dari sentra pertanian dan industri nasional tidak akan mencukupi kebutuhan nasional dalam periode waktu tertentu.
“Impor harus berdasarkan data dan fakta yang terjadi di lapangan,” ujarnya dalam keterangannya kepada Bisnis, Rabu (23/12/2020).
Salomo yang pernah menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Perdagangan periode 2015—2016 itu menyatakan dalam situasi pandemi Covid-19, hal yang harus diantisipasi adalah terjadinya kekurangan pasokan dan terganggunya jalur distribusi barang pokok baik pangan maupun bahan baku industri.
Kondisi itu, katanya dapat memunculkan kelangkaan barang kebutuhan pokok di pasar.
Oleh sebab itu, kata Salomo tugas Kemendag yakni harus mampu mengantisipasi keadaan dan memastikan bahwa kelangkaan barang kebutuhan pokok di pasar bukan karena adanya permainan seperti menimbun barang dan memainkan supply and demand untuk menciptakan fluktuasi harga barang yang merugikan masyarakat.
Hanya saja, langkah itu dinilai juga tidak bisa diambil cepat. Dia menjelaskan, diskresi Kemendag untuk dapat melakukan impor bilamana perlu guna melakukan intervensi harga di pasar, sudah lama dikurangi.
Saat ini, Kemendag tidak dapat lagi memberikan izin impor barang kebutuhan strategis seperti beras, gula kristal putih, bawang putih, daging sapi, daging kerbau, dan buah-buahan, tanpa rekomednasi dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian.
“Selama bertahun-tahun Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan BPS punya data sendiri-sendiri yang berbeda satu dengan yang lain terkait dengan kondisi bahan pokok nasional. Tidak jarang, masing-masing kementerian dan lembaga negara punya cadangan bahan pokok sehingga berbeda sikap dalam urusan impor,” kata alumnus Program Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.
Oleh sebab itu, kebijakan rekomendansi itu perlu ditinjau ulang efektivitasnya.
“Sejatinya kondisi pasar yang harus menjadi kontrol sosial terhadap kebijakan impor yang dilakukan Kemendag,” katanya.
Sementara itu, terkait dengan peran Kemendag dalam peningkatan ekspor produk nasional, Salomo menekankan tiga hal yang perlu menjadi perhatian.
Pertama, penguatan dan peningkatan kinerja intelijen perdagangan di luar negeri. Sinergi dengan Kementerian Luar Negeri diperlukan untuk menggali semua potensi ekspor.
Kedua, sinergi dengan kementerian terkait yang mengelola pengembangan industri nasional seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian UMKM.
Ketiga, memperkuat perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara mitra kerja sama baik secara bilateral, multilateral, maupun regional.