Bisnis.com, JAKARTA - Ketidakpastian Proyek LRTJ Jakarta yang akan diperpanjang lagi atau diserahkan kepada Pemerintah pusat karena sulitnya pembiayaan bisa menjadi kendala keberlanjutannya.
Direktur Eksekutif Instran Deddy Herlambang mengatakan apabila proyek tersebut tak ada yang mau dan mampu mengurus bakal berhenti sampai Velodrome saja. Dia memaparkan proyek LRTJ yang dibangun dari Kelapa Gading hingga Velodrome (Rawamangun) sejauh 5,8 km, fase 1 ini untuk mendukung Asian Games 2018. Pekerjaan LRTJ ini dibangun 2015 sampai 2018 dan kelayakan operasi resmi diizinkan 1 Desember 2019.
Semula LRTJ Fase 2 akan dibangun dari Velodrome ke Dukuh Atas, Sudirman, hingga perizinannya sudah diserahkan ke Pemerintah Pusat yakni DJKA Kemenhub.
Sebenarnya pula trase Velodrome – Sudirman ini juga baik, karena berpotensi mengurangi pengguna kendaraan pribadi dari Jakarta utara menuju pusat kota tanpa transit.
"Hingga info Kadishub DKI 25 November 2020, ternyata trase ini berganti lagi menjadi Velodrome – Klender," paparnya, Minggu (20/12/2020).
Menurutnya trase ini pun sebelumnya telah berganti-ganti sulit mencari kepastian, sehingga pekerjaan paket LRTJ ini masih belum ada kejelasan. Namun sejak Gubernur DKI baru terpilih Anies-Sandi 2017, ada wacana berganti Velodrome – Tanahabang, kemudian Pak Sandi undur dari Wagub DKI 2018, ada perubahan lagi rute Velodrome ke Stadion JIS Priok (semakin ke pinggir) saat ini menjadi fase 2A yang tengah dibangun dengan APBD DKI Jakarta.
Baca Juga
Kemudian rute ke selatan berubah lagi Velodrome ke Manggarai menjadi fase 2B, putusan ini batal karena dianggap mengganggu perkeretaapian nasional, hingga informasi terakhir ke media akan pindah lagi ke Klender. Hingga tulisan ini dibuat ada wacana lagi LRTJ pindah lagi Velodrome – Cawang, justifikasinya adalah untuk integrasi dari LRTJ ke LRT Jabodebek dan KA Cepat Jakarta-Bandung.
Sebenarnya, bila tujuannya integrasi dengan LRT Jabodebek sudah cukup baik di stasiun Sudirman sebagai simpul besar, tapi malah dibatalkan. Demikian halnya dengan batalnya sampai di Manggarai karena alasannya mengganggu perkeretapian nasional. Hal ini juga bertolak-belakang karena aksesbilitas darat sangat sulit ke Stasiun Manggarai akan lebih terbantu bila ada akses lain melalui LRTJ, di samping KRL existing.
Rencananya Stasiun Manggarai akan menjadi hub semua relasi kereta api antar kota pindahan dari Stasiun Gambir, tentunya masalah ini akan menjadi semakin layak bila LRTJ terkoneksi di Stasiun Manggarai. Bandingkan dengan bila LRTJ terkoneksi dengan ke KA Cepat Jakarta - Bandung karena segmen khusus ke Bandung dan belum tentu juga KA Cepat JB berhenti di Cawang karena KA Cepat ini berangkat mulai dari Halim.
Alhasil, simpulnya, target mode-share 60 persen transportasi publik tahun 2029 oleh BPTJ bakal berhasil bila infrastruktur massal baik berbasis karet atau rel terus dikebut. Contoh dibandingkan dengan beberapa kota di Asia, jaringan MRT Jakarta hanya 15 km (penduduk 10,5 juta), jauh di bawah Singapura 200 km (5,8 juta), Hongkong 187 km (7,5 juta), dan Tokyo 304 km (13 juta). Moda share angkutan umum di Jakarta, Bandung, dan Surabaya juga masih di bawah 20 persen dan jauh di bawah Singapura (61 persen), Tokyo (51 persen), dan Hongkong (92 persen).
Dampaknya, kemacetan juga masih sangat tinggi seperti di Jakarta yang menempati urutan ke-7 kota termacet di dunia (Tomtom Traffic Index, 2019). Kerugian akibat kemacetan lalu lintas lintas di Jakarta mencapai Rp65 triliun per tahun (Bappenas, 2019).
Bila melihat data di atas, panjang rel kereta api perkotaan (MRT/LRT) di DKI Jakarta masih sangat minim. Panjang rel MRTJ 15 km dan LRTJ 5,8 km atau total 20,8 km untuk melayani 10,5 juta penduduk Jakarta, masih sangat pendek bila dibandingkan kota metropolitan di dunia. Dari kenyataan ini, proyek LRTJ tidak boleh berhenti atau bahkan menunggu terlalu lama untuk dilanjutkan.
"Kalau proyek berhenti, LRTJ Kelapa Gading - Velodrome dapat menjadi “monument” karena okupansi penumpang nya sangat sedikit (bahkan lama kelamaan tidak ada) bila hanya sepanjang 5,8 km tidak diperpanjang lagi trase nya dan tujuan JIS akan ramai bila ada event," imbuhnya.
Walaupun proyek LRTJ akan dilanjutkan dengan waktu yang terlalu lama, sama saja akan menambah kerugian Pemprov DKI, karena LRTJ sepanjang 5,8 km existing biaya operasinya terlalu besar setiap bulannya.
LRTJ sepanjang 5,8 km akan kalah bersaing dengan angkutan online (taksi atau ojek) dengan servis door to door ( paratransit ). Angkutan berbasis rel akan berhasil okupansi penumpang nya apabila trase nya panjang dan melintasi pusat-pusat keramaian atau simpul-simpul kepadatan yang berpotensi menjadi transit oriented development (TOD). Dapat juga LRTJ ini diteruskan ke trase yang sepi okupansinya seperti ide rute ke JIS, supaya publik tidak selalu melakukan perjalanan ke pusat kota yang sudah padat.
Namun pola perjalanan seperti ring ini harus diimbangi dengan daya tarik perekonomian baru sebagai destinasi utama. Destinasi ini berupa kawasan-kawasan: perkantoran, mall/pasar, apartement/ hotel, perumahan tempat hiburan dan lain-lain sesuai Rencana Tata Ruang Wilayahnya (RTRW), sehingga dari kawasan sepi akan menjadi bangkitan ekonomi baru dan ada tarikan perjalanan dari asal yang jauh. Bila terjadi tarikan perjalanan baru otomatis terdapat bangkitan perjalanan pula yang memerlukan angkutan pengumpan (feeder) di setiap stasiun LRTJ.
Tentunya persoalan di atas bagai mendesain wilayah perkotaan baru di pinggiran ( satelit ) untuk mencegah perjalanan publik ke pusat kota, akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya besar karena membangun infrastruktur transportasi dan pembangunan perkotaan dalam 1 paket proyek.
Pemprov DKI bila ingin membangun infrastruktur LRTJ hanya untuk shifting ke angkutan umum saja, lebih baik dipilih rute trase yang melintasi kawasan-kawasan yang padat atau simpul-simpul besar dengan tujuan akhir (destinasi) sebagai hub besar. Hub besar di DKI seperti Dukuh Atas dan Tanahabang, sedangkan hub sedang dapat dipilih Pondok Indah, Palmerah dan Blok M (sekaligus menghidupkan blok M kembali).
Kajian trase LRTJ fase selanjutnya dapat dipilih asalkan tidak berhimpitan dengan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Dapat juga pola trase LRTJ segaris dengan trase perkeretaapian di RITJ tetapi konsekuensinya trase tersebut harus terkoneksi dengan jaringan perkeretapian Jabodetebek.
Menurutnya pabila Pemprov tetap berkeinginan LRTJ dari Velodrome ke Klender adalah rute trase masih tanggung karena dapat ditarik ke Stasiun Cakung dan sangat dekat dengan Terminal Pulo Gebang. Bila trase LRTJ berhenti di Terminal Bus Pulo Gebang tentunya terjadi hub yang besar karena LRTJ berpotensi menjadi sarana integrasi antar moda yang dapat diprediksi keberangkatan atau kedatangannya.
"Di Terminal Pulo Gebang memang telah ada feeder bus TransJakarta, tetapi dengan adanya integrasi dengan LRTJ publik akan semakin banyak pilihan menggunakan feeder," imbuhnya.
Menurutnya kalau terjadi banyak pilihan feeder menuju Terminal Pulo Gebang (juga milik Pemprov DKI), otomatis load factor terminal bus akan semakin meningkat pula. Akhirnya modal-share angkutan darat dengan bus umum (AKAP) meningkat pula dengan terkoneksinya LRTJ.