Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah kemerosotan ekonomi akibat krisis pandemi virus Corona, menaikkan pajak khususnya bagi individu berpendapatan tinggi menjadi pilihan mendulang tambahan pendapatan negara.
Selain itu, langkah ini juga dinilai dapat mempersempit kesenjangan pendapatan. Inggris misalnya, berencana memberlakukan pajak sekali pungut sebesar 5 persen terhadap orang dengan penghasilan lebih dari US$348 miliar per tahun.
Komisi Pajak Kekayaan (WTC) Inggris akan memungut pajak 1 persen per tahun sebanyak lima kali untuk aset individu di atas 500.000 poundsterling. Kebijakan ini akan mempengaruhi 8 juta penduduk Inggris.
"Prioritas kami saat ini adalah mendukung pekerjaan dan ekonomi. Kami percaya dengan membuat orang kembali bekerja, mendorong dan memberi insentif pada bisnis, pada akhirnya akan menciptakan sumber kekayaan baru untuk mendanai layanan publik kami," kata seorang juru bicara WTC, dilansir Bloomberg, Rabu (16/12/2020).
Presiden terpilih Amerika Serikat Joe Biden dalam janji kampanyenya juga berencana menaikkan pajak untuk mereka yang berpenghasilan US$400.000 setahun dari 37 persen menjadi 39,6 persen.
Pajak keuntungan modal dari mereka yang berpenghasilan US$1 juta per tahun juga akan dilipatgandakan.
Baca Juga
Pada 2017, Presiden Donald Trump memberlakukan pemotongan pajak terbesar dalam tiga dekade terakhir. Di AS, 400 miliarder terkaya membayar pajak rata-rata 23 persen pada 2018.
Menurut penelitian University of California Berkeley, angka itu lebih rendah daripada 24 persen pajak yang dibayarkan oleh separuh rumah tangga terbawah AS.
Dilansir oleh BBC, seperempat dari mereka yang berpenghasilan 5 juta hingga 10 juta poundsterling di Inggris hanya membayar pajak rata-rata 11 persen.
Itu tidak hanya lebih rendah dari pajak penghasilan resmi tertinggi sebesar 47 persen, tetapi juga di bawah tarif yang dikenakan pada warga berpenghasilan 15.000 poundsterling.
Namun demikian, tidak mudah memungut pajak dari golongan orang-orang kaya. Pada 1990, dua belas negara di Eropa memberlakukan pajak kekayaan. Saat ini, tersisa tiga negara saja yang mempertahankan kebijakan itu, yakni Norwegia, Spanyol, dan Swiss.
Menurut laporan OECD, sejumlah alasan ditariknya kebijakan itu yakni pengelolaan yang mahal, akan sulit bagi orang dengan banyak aset tetapi sedikit uang tunai, mendistorsi keputusan tabungan dan investasi, mendorong orang kaya melarikan uang ke negara pajak rendah, dan yang terburuk adalah tidak banyak meningkatkan pendapatan.
Pajak kekayaan Prancis berkontribusi pada eksodus sekitar 42.000 jutawan antara 2000 dan 2012. Pada 2018, Presiden Emmanuel Macron menghapuskan kebijakan itu.
Komisi Pajak Kekayaan Inggris yang terdiri atas akademisi, pembuat kebijakan dan praktisi pajak mengatakan ketentuan ini ditargetkan bagi mereka yang memiliki kemampuan membayar yang tinggi.
"Itu bisa ditargetkan pada mereka yang memiliki kemampuan paling untuk membayar berdasarkan kekayaan mereka dan akan sangat sulit untuk dihindari. Biaya administrasi pada pembayar pajak dan pemerintah akan relatif kecil dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh," kata komisi itu.
Dengan layanan publik yang menanggung beban penghematan setelah krisis keuangan, Menteri Keuangan Rishi Sunak telah mengisyaratkan bahwa kenaikan pajak akan datang setelah ekonomi pulih dari pandemi.
Menanggapi laporan WTC, Departemen Keuangan mengatakan langkah-langkah telah diambil untuk memastikan orang kaya membayar bagian yang adil dengan mereformasi pajak dividen, pensiun dan pelepasan bisnis.