Bisnis.com, JAKARTA - Indeks Pembangunan Manusia 2020 mencapai 71,94 atau tumbuh tipis sebesar 0,03 persen dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan ini dibayangi oleh isu pandemi Covid-19 yang mempengaruhi ekonomi masyarakat.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan pertumbuhan pada 2020 hampir flat. Padahal pertumbuhan tahunanya rata-rata 0,5-0,6 persen.
"Covid ini menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan sehingga bisa dilihat pengeluaran per kapita turun," ungkap Suhariyanto, Selasa (15/12/2020).
Seperti diketahui, perlambatan pertumbuhan IPM tahun 2020 sangat dipengaruhi oleh turunnya rata-rata pengeluaran per kapita
yang disesuaikan. Indikator ini turun dari Rp11,30 juta pada tahun 2019 menjadi Rp11,01 juta pada tahun 2020.
Per komponen, BPS mencatat, umur harapan hidup pada 2020 ini naik 0,13 tahun pada 2020. Suhariyanto mengatakan hal ini bisa dilihat dari indikator persentase rumah tangga yang bisa mengakses air minum layak. Sementara itu, angka perkawinan dini juga mengalami penurunan. Di sisi lain, angka harapan lama sekolah naik tipis menjadi 0,33 tahun dan lama sekolahnya naik 0,14 tahun.
Pada tahun 2020 anak-anak berusia 7 tahun memiliki harapan dapat menikmati pendidikan selama 12,98 tahun atau hampir setara dengan lamanya waktu untuk menamatkan pendidikan hingga setingkat Diploma I.
Baca Juga
Menurut Suhariyanto, angka ini meningkat 0,03 tahun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 12,95 tahun. Selain itu, rata-rata lama sekolah penduduk umur 25 tahun ke atas juga masih meningkat 0,14 tahun, dari 8,34 tahun pada tahun 2019 menjadi 8,48 tahun pada tahun 2020.
Dari sisi kesehatan, bayi yang lahir pada tahun 2020 memiliki harapan untuk dapat hidup hingga 71,47 tahun, lebih lama 0,13 tahun dibandingkan dengan mereka yang lahir pada tahun sebelumnya.
"Satu-satunya komponen yang turun pengeluaran per kapita yang disesuaikan, tahun ini turun 2,5 persen. Sekali lagi ini karena ada Covid. Banyak masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan," ujarnya.
Penurunan ini tentu saja menghantam komponen IPM dari daya beli. Berdasarkan provinsi, IPM tertinggi di Jakarta 80,77, disusul Jogja dan Kalimantan Timur. Adapun, IPM yang terendah masih tercatat di Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Dari 34 provinsi, hanya DKI Jakarta yang IPM-nya tergolong sangat tinggi, di atas 80. Sementara itu, 22 provinsi tergolong tinggi dan 11 provinsi sedang.
"Yang mengembirakan, tidak ada lagi provinsi yang dalam kategori rendah," katanya.
Namun, dia mengemukakan pekerjaan rumah yang harus dipecahkan ke depan adalahh masih adanya disparitas IPM yang tinggi dari satu provinsi dan provinsi lainnya. Misalnya, IPM DKI Jakarta sebesar di atas 80 persen, sementara Papua baru 60,44 persen.