Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah sah menaikkan cukai rokok 2021 dengan rata-rata 12,5 persen meski sedang pandemi Covid-19. Di tengah kondisi yang sulit, kebijakan tersebut dirasa tidak tepat.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan bahwa berdasarkan kajian yang dia lakukan, kenaikan cukai tidak akan mencapai tujuan pemerintah, yaitu menurunkan jumlah perokok hingga menekan produksi ilegal.
“Kalau kenaikan itu terlalu membebani justru korelasi dengan prevalensi perokok itu malah terbalik. Kalau kondisi normal, kenaikan 10 persen atau 12 persen itu tidak masalah,” katanya saat dihubungi, Kamis (10/12/2020).
Enny menjelaskan bahwa kondisi sekarang berbeda. Saat pertumbuhan ekonomi turun dan daya beli masyarakat lesu, kenaikan cukai menjadi hal yang aneh.
Harga yang naik sehingga membebankan masyarakat malah akan menjadi persoalan baru. Perokok akan beralih ke sigaret ilegal. Alasannya, ini menjadi peluang produsen rokok tidak sah menggenjot usahanya.
Yang kedua, jumlah perokok justru meningkat karena maraknya sigaret ilegal di pasaran yang lebih murah. Lalu saat produk tidak sah semakin banyak, menjadi kontraproduktif dengan keinginan menaikkan penerimaan negara dari cukai.
Baca Juga
Saat ini 4,86 persen rokok ilegal beredar di tengah warga. Berdasarkan hitungan Enny, 2 persen ilegal saja, potensi kehilangan pajak dari cukai mencapai Rp3 triliun.
Di sisi lain, persentase ilegal tersebut adalah yang telah ditindak. Dengan letak Indonesia sebagai negara kepulauan, Enny meyakini peredaran rokok ilegal lebih banyak lagi. Paling tidak dua kali lipatnya.
Yang menjadi pertanyaannya, darimana pemerintah bisa menetapkan kenaikan rokok. Padahal, pertumbuhan ekonomi minus. Inflasi juga tidak sampai 2 persen. Bahkan gaji buruh tahun depan tidak naik.
“Negara narasinya relaksasi dan beri insentif kepada seluruh sektor juga untuk komoditas. Tapi kenapa itu tidak terjadi di cukai,” tanyanya.