Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IMF Restui Monetisasi Utang Sementara di Asia

Sikap itu seperti membalikkan wajah IMF selama krisis keuangan Asia pada 1990-an. Imbauan IMF saat itu untuk pengetatan kebijakan terkadang disalahkan karena justru memperburuk kesulitan ekonomi.
Logo The International Monetary Fund (IMF)./Reuters
Logo The International Monetary Fund (IMF)./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional atau IMF merestui monetisasi utang sementara di Asia. Keputusan ini menandai bagaimana pandemi telah menjungkirbalikkan ortodoksi ekonomi.

Sikap itu seperti membalikkan wajah IMF selama krisis keuangan Asia pada 1990-an. Imbauan IMF saat itu untuk pengetatan kebijakan terkadang disalahkan karena justru memperburuk kesulitan ekonomi.

Pada 1998, ketika krisis keuangan berkecamuk di seluruh Asia, Direktur Pelaksana IMF saat itu, Michel Camdessus menyetujui dana talangan kepada Pemerintah Indonesia yang ditandatangani Presiden Soeharto. Hal itu kemudian menimbulkan pemotongan pengeluaran besar-besaran dan reformasi yang menyakitkan.

Kini ketika dunia dilanda krisis ekonomi yang didahului bencana kesehatan, IMF berpandangan bahwa negara-negara dengan ruang meminjam yang terbatas, atau yang rentan terhadap perubahan sentimen pasar obligasi saat defisit membumbung, dapat lebih bersandar pada kebijakan bank sentralnya.

Laporan regional economic outlook terbaru IMF bahkan memberi persetujuan bagi bank sentral untuk langsung membeli surat utang pemerintah, dalam beberapa kasus dan dengan syarat tertentu.

"Ini adalah waktu yang sangat tidak biasa dan luar biasa," kata Jonathan D. Ostry, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, dilansir Bloomberg, Kamis (26/11/2020).

Ostry melanjutkan, dalam keadaan yang sangat luar biasa di mana inflasi tetap rendah, monetisasi utang dapat dilakukan. Syaratnya, langkah itu harus dikomunikasikan dengan baik, terikat waktu, dan diterapkan dengan kerangka operasional yang menjaga independensi bank sentral dan tidak menghalangi kebijakan moneter.

Program monetisasi utang Indonesia yang disetujui pada Juli dan dilaksanakan pada Agustus, misalnya, telah menarik perhatian dunia. Bank Indonesia sejauh ini telah menarik lebih dari Rp270 triliun (US$20 miliar) obligasi pemerintah.

Disamping penurunan suku bunga yang mengejutkan pekan lalu, Bank Indonesia juga menegaskan tidak akan melakukan pembelian langsung hingga 2021.

Bank sentral dan pejabat keuangan berupaya menenangkan investor mengenai skema burden sharing yang dijanjikan hanya untuk sementara. Pemerintah juga berupaya meredakan kekhawatiran seputar rancangan undang-undang yang awalnya dianggap mengancam independensi bank sentral.

Dalam sebulan terakhir, rupiah menjadi salah satu mata uang yang meraup kenaikan terbesar di Asia, melambung lebih dari 3 persen dari dolar AS.

Di Filipina, di mana pembicaraan tentang pembelian langsung melonjak karena ekonomi terpukul karena lonjakan kasus, bank sentral baru-baru ini mengurangi pembelian utang. Sementara pejabat di Bangko Sentral ng Pilipinas telah mengatakan tetap siap menggunakan kebijakan yang tidak konvensional sesuai kebutuhan, data hingga Oktober menunjukkan pembelian sekuritas di pasar sekunder bahkan telah turun.

Brad Setser, mantan ekonom di Departemen Keuangan AS berpendapat, tindakan yang diambil oleh pemerintah pada tahun-tahun sejak krisis keuangan Asia, seperti memperkuat cadangan devisa, berarti pemerintah di kawasan itu memiliki lebih banyak ruang gerak kali ini dibandingkan dengan krisis 1990-an.

"Akan sangat aneh bagi IMF untuk mengakui kebutuhan pembelian aset untuk mengatasi kendala batas bawah nol di negara maju dan tidak mengakui bahwa beberapa negara berkembang berada dalam posisi yang sama," kata Setser.

Thailand dan Korea Selatan adalah dua ekonomi Asia yang mendekati batas bawah nol, masing-masing menunjukkan suku bunga acuan 0,5 persen setelah pemotongan 75 basis poin tahun ini.

Mark Sobel, mantan perwakilan AS di IMF yang sekarang menjadi bagian dari Official Monetary and Financial Institutions Forum, mengatakan itu adalah gambaran ruang kebijakan ekonomi makro yang dimiliki negara-negara ini sehingga mereka dapat bersandar pada kebijakan seperti pembelian aset tanpa membuat takut investor.

"Hal itu dimungkinkan oleh kemajuan yang mereka buat dalam memperkuat fundamental ekonomi mereka dalam beberapa dekade terakhir sejak krisis Asia," kata Sobel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper