Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan ekspor benih lobster yang menuai polemik memasuki babak baru usai Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengonfirmasi bahwa penangkapan Edhy dilakukan terkait dengan dugaan keterlibatan penyuapan dalam penerbitan izin ekspor benih bening lobster (BBL).
Pembukaan keran ekspor benih lobster sejak awal menimbulkan kontroversi. Aturan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Indonesia diterbitkan pada Mei dan menggugurkan larangan ekspor benih yang berlaku pada kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti.
Tak lama sejak beleid terbit, publik dibuat kaget dengan laporan realisasi ekspor yang terjadi pada awal Juli. Sebanyak 35 koli bibit lobster dikabarkan diekspor melalui Bandara Seokarno-Hatta oleh empat perusahaan dengan Vietnam sebagai negara tujuan. Jika dihitung-hitung, hal tersebut adalah pengiriman kedua yang dilakukan sejak aturan baru berlaku.
Ekspor yang terealisasi dalam rentang tak kurang dari 2 bulan sejak pintu pengiriman benur ke luar wilayah Indonesia diizinkan pun menimbulkan tanda tanya.
Menurut ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Permen Kelautan dan Perikanan No. 12/2020, penangkapan benur untuk budi daya haruslah mengacu pada kajian soal kuota dan wilayah penangkapan yang disusun oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan).
Baca Juga
Pengeluaran benur dari luar wilayah Indonesia pun diatur lebih lanjut dalam Pasal 5. Dalam pasal tersebut, para eksportir diharuskan melakukan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat. Para eksportir pun harus telah merealisasikan panen secara berkelanjutan dan melepasliarkan 2 persen dari hasil panennya.
REKAM JEJAK
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengemukakan bahwa perusahaan-perusahaan ekspor benih lobster tersebut terindikasi tidak memiliki rekam jejak pembudidayaan yang dibuktikan dengan panen secara berkelanjutan.
Budi daya lobster sendiri sebelumnya juga dilarang pada masa komando Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014—2019 Susi Pudjiastuti.
“Ekspor ini juga melangkahi prosedur dalam UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan karena pengiriman benur hanya boleh mengacu pada kajian Komnas Kajiskan. Sampai detik ini belum ada kajian tersebut, yang menjadi acuan justru badan riset, ini jelas salah secara prosedur,” kata Abdul saat itu.
Nihilnya rekam jejak budi daya para eksportir ini pun dinilai Abdul hanya berlandaskan kepentingan ekonomi sesaat. Hal ini tercermin dari proses pengiriman yang terkesan ditutupi dan dilaksanakan ketika pembahasan revisi pungutan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) untuk ekspor benih lobster masih dibahas.
“Artinya, mereka memanfaatkan celah hukum yang ada, mumpung masih rendah,” lanjut Abdul.
Rendahnya pungutan PNBP ekspor benih lobster ini pun pernah menjadi sorotan Susi Pudjiastuti dalam salah satu cuitannya.
"PNBP ekspor bibit lobster Rp250 per 1.000 ekor. Satu kali ekspor dapat satu bungkus rokok masuk ke rekening negara," sentil Susi dalam kicauannya penghujung Juni lalu. Besaran pungutan PNBP ekspor lobster sendiri diatur dalam PP 75 Tahun 2015.
Dibukanya pintu ekspor tanpa peta jalan yang jelas pun dikhawatirkan bakal mencederai impian budi daya di dalam negeri yang bersaing dengan negara tetangga. Jika ekspor benur terus berlanjut, Abdul mengemukakan bahwa bukan tak mungkin ekspor lobster dewasa Indonesia bakal terganggu.
Tak sampai di situ, masalah dalam ekspor benih lobster kembali terendus ketika 14 perusahaan yang akan mengekspor BBL diduga memalsukan dokumen pengiriman.
Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR pada 22 September 2020, Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Yusuf mengatakan bahwa volume BBL yang dikirim perusahaan-perusahaan tersebut 253 persen lebih besar dibandingkan dengan angka yang tertera dalam dokumen.
Jumlah benih yang tertera dalam dokumen mencapai 1,5 juta ekor. Namun, benih yang akan dikirim justru mencapai 2,7 juta ekor.
Ketua Komisi IV DPR Sudin menyebutkan bahwa temuan ini merupakan sesuatu yang memalukan dan memperlihatkan kelalaian Badan Karantina, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) dalam mengawasi tata niaga.
Temuan ini pun membuat DPR mendesak KKP untuk mencabut izin ekspor perusahaan-perusahaan tersebut. Desakan ini direspons KKP dengan komitmen untuk mencabut izin.
Malaadministrasi dalam ekspor benih lobster tak berhenti sampai di situ. Baru-baru ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melaporkan dugaan monopoli dalam pengiriman BBL ke luar negeri. Secara spesifik, KPPU menemukan bahwa ekspor benih lobster hanya terkonsentrasi di satu pintu, yakni melalui Bandara Soekarno-Hatta, padahal BKIPM telah menunjuk enam bandara sebagai titik aktivitas ekspor.
Jika memperhatikan hasil tinjauan ini, KPPU pun memutuskan untuk memulai penelitian perkara inisiatif atas dugaan praktik monopoli di jasa kargo ekspor BBL. Per November ini, penelitian dimulai untuk memperoleh bukti-bukti atas dugaan praktik monopoli di jasa tersebut.