Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi berpandangan bahwa importasi barang konsumsi yang diregulasi oleh pemerintah di tengah pandemi merupakan hal yang lumrah, terlebih jika terjadi lonjakan impor yang tidak wajar.
Meski demikian, Fithra tak memungkiri jika Indonesia masih menghadapi pekerjaan rumah soal birokrasi dalam penerbitan izin bagi pelaku usaha.
“Saya lihat ini langkah yang wajar karena kalau dilihat impor barang konsumsi ini ada yang kenaikannya bisa sampai ratusan persen. Negara lain pun akan melakukan hal serupa untuk mengendalikan. Tidak memblokir impor tapi lebih ke pengendaliannya,” kata Fithra kepada Bisnis, Selasa (10/11/2020).
Fithra mengemukakan lonjakan impor barang konsumsi yang berlebihan bisa berdampak buruk pada perekonomian. Adapun impor barang konsumsi berkontribusi 10,23 persen dari total impor dengan nilai US$10,6 miliar sepanjang Januari-September 2020 atau turun 9,36 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Terlepas dari hal tersebut, Fithra tidak memungkiri jika dalam pelaksanaannya terdapat hambatan dari sisi birokrasi yang berdampak pada aktivitas usaha.
Usia beleid yang masih muda, kata Fithra, belum tentu diiringi dengan adaptasi birokrasi. Hal ini setidaknya tecermin dari Persetujuan Impor (PI) yang tak kunjung terbit meski pelaku usaha telah mengajukannya.
Baca Juga
Selain itu, Pasal 31 Permendag Nomor 68 tahun 2020 pun memberi sinyal bahwa aturan ini tidak akan berlaku jangka panjang. Pasal tersebut menyebutkan bahwa aturan ini bakal dievaluasi dalam 6 bulan sejak diterbitkan.
“Mungkin hanya akan berlaku selama pandemi karena ada ketentuan evaluasi dalam 6 bulan. Kalau negatif mungkin bisa dicabut,” lanjutnya.
Fithra juga tidak terlalu mempermasalahkan keluhan yang disampaikan perwakilan negara tertentu atau perusahaan multinasional yang keberatan dengan kebijakan ini. Menurutnya, hal tersebut wajar dilakukan dan bisa diselesaikan ketika Kementerian Perdagangan menerbitkan PI yang diharapkan.
“Keberatan negara lain itu wajar, apalagi jika arahnya untuk penguatan industri dalam negeri yang bisa berkompetisi. Bagaimanapun perusahaan mereka sudah mendapat akses pasar kita. Tentunya kita bisa negosiasi. Masalahnya kan kita tidak block, hanya keterlambatan izin dan ini PR kita selama pandemi, itu perlu diperbaiki,” kata Fithra.