Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan peta urbanisasi mulai bergeser. Sementara itu, ada tiga pembelajaran menarik dari kasus anekdotal smart city di Indonesia.
Luh Kitty Katherina, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, menjelaskan studi tentang urbanisasi, khususnya di negara berkembang, terfokus pada kota-kota utama dari suatu negara yang mengalami proses urbanisasi sangat cepat, membentuk kawasan perkotaan yang besar atau megaurban, meninggalkan kota-kota lain di negaranya.
“Selain sebagai tempat konsentrasi penduduk, kota-kota tersebut memiliki kontribusi ekonomi yang sangat tinggi terhadap perekonomian nasional. Namun saat ini, peta urbanisasi mulai bergeser,” kata Kitty seperti dikutip dalam siaran pers LIPI, Minggu (8/11/2020).
Dia mengatakan pergeseran ini menunjukkan bahwa saat ini kota kecil dan menengah memiliki peran penting sebagai katalis dan pusat yang dapat menarik masyarakat untuk datang dan bertempat tinggal.
Kota kecil dan menengah berpotensi memiliki peran penting dalam penyeimbang wilayah dan pembangunan pedesaan jika direncanakan dan dikelola dengan baik, ujarnya.
“Di Indonesia, geliat perkembangan kota menengah atau yang sering juga disebut sebagai kota lapis kedua (secondary cities) mulai terlihat sekitar 1970- an,” sebut Kitty.
Baca Juga
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI Galuh Syahbana Indraprahasta menerangkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi masuk ke beragam sendi dan aspek kehidupan, termasuk perkotaan.
“Fusi antara teknologi dan sistem perkotaan inilah yang kemudian melahirkan label smart city,” katanya.
Dia mengungkapkan beberapa pembelajaran menarik dari kasus anekdotal smart city di Indonesia, yaitu (1) masyarakat lebih banyak ditempatkan sebagai user; (2) peluang lebih besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi baik dalam proses perencanaan maupun sebagai sensor manusia; (3) Upaya pelibatan masyarakat membutuhkan proses sosialisasi dan pembelajaran yang tidak instan.
Dari aspek kebutuhan sanitasi di pemukiman penduduk, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Rusli Cahyadi mengungkapkan, penetapan sasaran program sanitasi masyarakat di Indonesia mencerminkan pengaplikasian prinsip pembangunan berbasis kebutuhan.
“Masyarakat yang berpenghasilan rendah, tinggal di permukiman padat penduduk, serta kondisi lingkungan yang rawan sanitasi dianggap memiliki kebutuhan (need) yang lebih tinggi. Oleh karenanya hal tersebut perlu menjadi prioritas dalam pembangunan sarana sanitasi berbasis komunitas,” ujarnya.
HARI KOTA DUNIA
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan pada 31 Oktober sebagai World Cities Day, untuk meningkatkan kerja sama antarnegara untuk mengatasi tantangan urbanisasi dan berkontribusi terhadap pembangunan kota yang berkelanjutan di dunia.
Perubahan atau transformasi kota turut berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, salah satunya dari aspek kependudukan dan perencanaan ruang.
Tren urbanisasi di Indonesia memberikan pengaruh pada perkembangan kota yang diikuti dengan perubahan dari berbagai aspek.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan bahwa World Cities Day berkaitan dengan kota yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Ada yang memberikan kontribusi pada kekuatan baru, tetapi kota juga mereduksi hak-hak atau akses-akses pada masyarakat yang memang kalah bertarung.
Sumber kehidupan kota merupakan bagian penting dari peningkatan perekonomian suatu Bangsa. Nuke menjelaskan pandemi Covid-19 saat ini merupakan momentum untuk melihat kembali, apakah kota-kota ini bisa bertahan atau menjadi kekuatan pertahanan bagi masyarakatnya.
“Tema World Cities Day tahun ini Valuing Our Communities and Cities, yang menjadi pesan untuk menyadarkan kita untuk menghargai manusianya, komunitasnya, dan tempatnya, yaitu kota itu sendiri secara proporsional,” jelas Nuke.
Kepala Pusat Penelitian LIPI Herry Yogaswara mengatakan transformasi kota dalam hal ini adalah sebuah perubahan fundamental yang menyangkut perubahan kerangka pembangunan.
Salah satu pendekatan yang perlu dilakukan adalah melibatkan secara utuh seluruh komponen masyarakat termasuk inisiatif yang bersifat informal. “Oleh karena itu pendekatan kependudukan perlu menjadi salah satu aspek penting untuk dipertimbangkan,” tegasnya.
Menurutnya, strategi informal yang ada di level masyarakat, yang dibangun kelompok masyarakat khususnya kelompok rentan di perkotaan, selama ini belum dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan kota yang cenderung bersifat formal.
Herry menambahkan, urbanisasi dan keberlanjutan kota perlu dikelola dengan tepat, mengingat kecepatan urbanisasi khususnya pada kota-kota kecil dan menengah menjadi tantangan bagi tata kelola dan perencanaan perkotaan. “Sehingga harus disiapkan kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi peningkatan ketimpangan yang mungkin terjadi,” tambahnya.