Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) memproyeksi kinerja tahun ini akan terkontraksi sekitar 10 persen dibandingkan tahun lalu yang masih tumbuh sekitar 14 persen.
Hal itu melihat kegiatan produksi dan penjualan yang tidak begitu banyak berubah sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air awal tahun ini.
Badan Pusat Statistik mencatat industri tekstil dan pakaian jadi kontraksi 9,32 persen pada kuartal III/2020 akibat menurunnya permintaan domestik dan luar negeri. Meski demikian, angka kontraksi itu lebih baik dibandingkan kuartal II/2020 sebesar -14,23 persen.
Dari sisi konsumsi, konsumsi rumah tangga tercatat masih -4,04 persen dengan komponen penjualan eceran yang juga masih terkontraksi 9,64 persen untuk penjualan sandang, bahan bakar, suku cadang aksesoris, dan lainnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan dari sisi produksi sebenarnya kodisi kuartal III dan II tidak jauh berbeda. Artinya meski ada perbaikan tetapi masih dalam garis negatif.
"Kalau di hulu utilisasi masih 50 persenan saja karena yang kemarin stop belum memulai lagi produksi. Jadi tahun ini TPT mungkin akan minus sekitar 10 persen dan jika Permendag 77 direvisi akhir tahun maka bisa jadi harapan tahun akan mulai tumbuh meski masih di bawah 5 persen," kata Redma kepada Bisnis, Kamis (5/11/2020).
Baca Juga
Redma mengemukakan saat ini dari 22 pabrikan hulu TPT, ada sekitar tiga pabrik yang menutup keseluruhan produksi dan empat pabrikan yang memiliki utilisasi 60 persen. Selebihnya, ada yang utilisasi di 50 persen hingga 40 persen.
Menurutnya, produksi yang masih terpantau baik yakni untuk produk rayon dengan rerata utilisasi 75-90 persen didorong permintaan domestik dan luar negeri serta kemampuan pabrikan untuk menyetok.
Secara keseluruhan, Redma menilai krisis akibat pandemi Covid-19 ini menjadi yang terparah dalam sejarah industri TPT setelah periode krisis 2009. Pasalnya, saat ini ada pabrikan yang sudah berhenti selama enam bulan dan masih dalam posisi wait and see untuk memulai kembali.
"Begitu pula kondisi di hilir yang belum banyak berubah. Biasanya juga kalau krisis hanya industri besar yang terkena tetapi sekarang IKM pun ikut terdampak belum lagi dari impor yang mana bagi Bea Cukai sudah menjadi kewajaran, mereka petugas negara tapi seperti tidak punya nurani dan tidak mau membantu industri dalam negeri sendiri," ujarnya.