Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah ekonom meyakini Amerika Serikat akan memperpanjang fasilitas tarif preferensi umum (Generalized System of Preferences/GSP) ke Indonesia.
Kendati demikian, Indonesia perlu menyiapkan pembahasan kerja sama bilateral mengingat AS bisa secara unilateral mencabut fasilitas tersebut.
Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengemukakan bahwa sejumlah keluhan AS yang menyebabkan negara tersebut meninjau kembali status Indonesia sebagai penerima GSP telah diurai.
Keluhan tersebut mencakup hambatan dagang pada produk agrikultur AS ke pasar Indonesia dan mengenai defisit neraca dagang.
“Indonesia tidak punya masalah besar dengan AS. Sejumlah tuntutan sudah diselesaikan,” kata Yose kepada Bisnis, Kamis (29/10/2020).
Namun dia menyoroti potensi dicabutnya fasilitas tersebut pada masa mendatang setelah Bank Dunia memasukkan Indonesia ke dalam kelompok negara dengan upah menengah ke atas (upper middle income) per 1 Juli 2020.
Baca Juga
Sebagaimana diketahui, fasilitas GSP diberikan secara unilateral oleh AS kepada negara yang masuk kategori berkembang.
“Kita belum punya kesepakatan tarif preferensi bilateral dengan AS selain GSP. Kalau pun GSP dicabut, Indonesia perlu merundingkan ini,” kata Yose.
Meski utilisasi GSP bagi ekspor Indonesia terbilang rendah, Yose menilai Indonesia tetap memerlukannya untuk mempertahankan reputasi. Dia memberi contoh pada kasus dicabutnya Turki dan India dari penerima fasilitas yang langsung berimbas pada nilai mata uang negara masing-masing.
Di sisi lain, status sebagai penerima GSP pun disebutnya bisa menjadi daya tawar bagi RI untuk menggaet investor yang diharapkan merelokasi basis produksi ke Tanah Air. Dengan adanya jaminan bea masuk yang lebih murah ke pasar AS, Indonesia bisa meyakinkan investor untuk melakukan penetrasi produknya ke Negeri Paman Sam.
“Fasilitas GSP tentu akan menarik bagi investor karena ada tren diversifikasi hub,” lanjutnya.
Di sisi lain, Yose melihat kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Indonesia sebagai gestur yang menunjukkan bahwa AS melihat Indonesia sebagai mitra penting di kawasan seiring menguatnya pengaruh China di Asia.
Menurutnya, jaminan fasilitas GSP merupakan instrumen penting untuk memastikan bahwa Indonesia tidak terlalu bergantung pada China.
Senada, Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi yang memperkirakan fasilitas GSP akan berlanjut juga menilai bahwa AS tengah mempertegas hubungannya dengan Indonesia.
Meski pemerintahan Donald Trump cenderung menarik diri dari konstelasi kerja sama regional seperti Trans Pacific Partnership(TPP), Fithra mengemukakan AS terus mengedepankan perundingan bilateral dengan mitra strategisnya.
“Bahkan saat pandemi perdagangan mereka dengan kita defisit, mereka tidak komplain. Saya melihat ini gestur dari pemerintah Trump terhadap konstituennya bahwa mereka konsisten menjauh dari China,” kata Fithra.
Hal ini pun sejalan dengan niatan Amerika Serikat yang ingin tak terlalu bergantung dari China dan mencari pemasok lain. Fithra pun mencatat bahwa pemerintah AS telah beberapa kali menyatakan akan meningkatkan investasi di Indonesia.
Komitmen untuk meningkatkan investasi ini disinggung Mike Pompeo dalam kunjungannya. Dia mengatakan pemerintah AS akan melibatkan lembaga federal Korporasi Keuangan Pembangunan Internasional (International Development Finance Corporation/DFC) untuk meningkatkan investasi di Indonesia.
“Pemerintah Amerika siap mengerahkan sarana guna mendorong investasi sektor swasta yang dapat mendukung rencana Presiden Widodo untuk pembangunan lebih dari 250 proyek infrastruktur senilai US$327 miliar,” kata Pompeo dalam pernyataan resminya usai bertemu dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Terlepas dari dukungan tersebut, Pompeo mengatakan bahwa sektor swasta memerlukan insentif untuk dapat menanamkan modal. Dia menilai agenda reformasi birokrasi yang diusung Indonesia dapat memberi dukungan dalam hal ini.
“Kami harap Indonesia terus mengupayakan pengurangan hambatan, mengeliminasi korupsi, dan meningkatkan transparansi,” lanjut dia.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani menyebutkan bahwa dalam kunjungan CEO DFC Adam Boehler dan Kepala Bank Ekspor Impor AS Kimberly Reed ke Kadin Indonesia pekan lalu, perwakilan AS menyambut baik pengesahan RUU Cipta Kerja oleh parlemen pada awal Oktober. Pengesahan tersebut diharapkan dapat mendorong masuknya investasi dari AS.