Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) menilai industri daur ulang di dalam negeri belum mendapatkan keberpihakan dari para pemangku kepentingan. Walau UU Cipta Kerja telah disahkan, asosiasi menilai pengumpulan sampah masih menjadi masalah utama industri daur ulang nasional.
Ketua Umum Adupi Christine Halim mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memasukkan industri daur ulang dalam peta jalan 2025. Peta jalan tersebut mengharuskan kemasan plastik untuk memiliki konten bahan baku daur ulang setidaknya 25 persen.
"Tapi, itu bukan mandatory. Itu masih keinginan dan kalau itu diharuskan mandatory akan sulit karena tidak semua barang-barang packaging bisa diproduksi menggunakan bahan daur ulang," katanya kepada Bisnis, Senin (12/10/2020).
Selain itu, sampah plastik yang saat ini mendominasi tempat pemrosesan akhir (TPA) adalah plastik multilayer yang notabenenya tidak bisa didaur ulang oleh pabrikan daur ulang eksisting. Sementara itu, bahan baku yang saat ini paling menarik didaur ulang adalah plastik kaku seperti botol polyethylene terephthalate (PET).
Berdasarkan penelitian KLHK pada 2019, total botol PET yang diproduksi di dalam negeri hanya mencapai sekitar 100.000 ton. Adapun, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) mendata memproduksi kemasan plastik mendominasi penggunaan bahan baku plastik hingga 2,25 juta ton per tahun.
Federasi Kemasan Indonesia mencatat kemasan plastik kaku hanya berkontribusi 15 persen, sedangkan plastik fleksibel atau plastik multilayer mendominasi hingga 45 persen. Dengan kata lain, plastik yang menarik untuk didaur ulang oleh pabrikan hanya sekitar 338.100 ton per tahun dari total produksi plastik nasional sekitar 5,6 juta ton per tahun.
Baca Juga
Di sisi lain, Christine meramalkan setidaknya produksi pabrikan daur ulang akan terkontraksi setidaknya 50 persen dari realisasi 2019. Artinya, pabrikan daur ulang hanya akan memproduksi bahan baku daur ulang maksimal sekitar 500.000 ton pada 2020.
"Banyak orang kerjanya dari rumah, jadi banyak yang tidak konsumsi apa-apa. Jadi, bahan baku berkurang anget. Impor [bahan baku] juga susah, saat ini banyak persyaratan-persyaratan yang menyusahkan," ujarnya.
Christine menyatakan banyaknya limbah masker di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) juga berkontribusi berkurangnya pengumpulan bahan baku. Pasalnya, ujar Christine, para pemulung juga enggan mendekati sampah yang dekat dengan masker karena takut tertular Covid-19.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendata ada 88 pabrikan yang memiliki izin edar masker bedah dan masker N95 dengan total kapasitas produksi sekitar 470 juta unit per bulan. Adapun, Kemenperin meramalkan akan ada sekitar 137 juta unit yang akan dipasarkan di dalam negeri hingga akhir 2020.
Jika 1 unit masker memiliki volume 1 gram, akan ada sekitar 137.000 ton masker medis yang akan menjadi limbah. Adapun, Christine berujar pihaknya belum menemukan mesin atau proses produksi yang dapat mendaur ulang masker medis di dalam negeri.
"Semua orang tidak siap dengan adanya pandemi ini. Jadi, banyak sampah masker yang menumpuk sejak awal pandemi di mana-mana dan orang buangnya dicampur dengan sampah-sampah lain," ucapnya.