Bisnis.com, JAKARTA -- Revisi aturan mengenai tenaga alih daya (outsourcing) dan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang termaktub dalam Undang-Undang Cipta Kerja dipandang bisa membawa iklim usaha yang lebih baik.
Namun hal ini perlu disertai dengan sejumlah catatan, terutama dalam hal pengawasan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 59 menyebutkan PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu paling lama 3 tahun.
Selain itu, perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.
Sementara itu, UU Cipta Kerja tak lagi secara gamblang menyebutkan jangka waktu tersebut. Dalam ayat 4 asal 59 yang telah direvisi, ketentuan mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Aturan ini sempat menimbulkan tafsir bahwa pemberi kerja akan leluasa mengontrak pekerja tanpa ada kepastian pengangkatan sebagai pekerja tetap.
Lebih lanjut, UU Cipta Kerja turut merevisi ketentuan mengenai penggunaan tenaga alih daya. Berbeda dengan aturan pendahulu yang secara terperinci menjelaskan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan dalam pasal 64 dan 65 dan tak lagi membatasi jenis bisnis dengan skema ini.
Dengan kata lain, pemakaian tenaga alih daya pun bisa diperluas jenis pekerjaannya.
Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) Mira Sonia mengatakan mulai banyak perusahaan di Tanah Air yang telah mengalihkan rekrutmen untuk posisi dengan keterampilan khusus seperti ahli teknologi informasi dan staf akuntan ke perusahaan mancadaya.
Hal ini disebutnya turut mendorong bermunculannya perusahaan penyedia tenaga alih daya khusus untuk pekerjaan tersebut.
Tak dibatasinya jenis pekerjaan yang bisa diserahkan ke perusahaan lain ini pun dinilai Mira bisa membawa keuntungan tersendiri bagi perusahaan.
Meski penggunaan tenaga alih daya cenderung lebih mahal, Mira mengatakan perusahaan tak perlu lagi dipusingkan dengan upaya peningkatan kompetensi yang mungkin bisa beragam jenisnya dalam satu perusahaan.
“Pada akhirnya perusahaan alih daya akan kian bervariasi dan perusahaan pengguna tidak perlu bingung atau membuat kompetensi sendiri, misalnya untuk posisi sales motoris, perusahaan tentu akan lebih cepat eksekusinya dengan tenaga alih daya daripada rekrut sendiri,” ujar Mira kepada Bisnis, Kamis (8/10/2020).
Iklim tenaga alih daya yang lebih kondusif pun disebut Mira bakal dipandang atraktif oleh investor. Dalam perkembangannya, investor biasanya akan melakukan uji coba dalam jangka waktu tertentu.
Di tengah kondisi ini, beragamnya jenis kompetensi yang dicakup dalam skema alih daya tentu akan mempermudah penanam modal dalam mengeksekusi bisnisnya.
“Investor tentu akan melihat kemudahan usaha di suatu tempat, dia akan menguji dalam bentuk proyek berdurasi 1 sampai 2 tahun. Membangun kompetensi pekerja ini kan tidak instan, tetapi kalau mau instan bisa memanfaatkan pekerja di perusahaan outsourcing,” lanjutnya.
Meski demikian, Mira memberi pula catatan khusus atas revisi yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Dia tak memungkiri jika UU Cipta Kerja memperjelas perlindungan pekerja terkait hubungan kerjanya dengan perusahaan mancadaya.
Namun, perlindungan ini perlu diikuti dengan regulasi turunan yang menjamin bahwa perusahaan alih daya memenuhi standar kompetensi usaha.
“Kehadiran perusahaan alih daya ini kerap dipandang sebagai alih risiko dari perusahaan terhadap perlindungan pekerja, ini yang perlu diperhatikan. Bagaimana ke depannya pengaturan perusahaan alih daya dijalankan agar siap menjalankan ketentuan,” ujar Mira.
Mira mengatakan jumlah pekerja alih daya yang terdata dalam Forum Komunikasi Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Fadi) mencapai 3 juta orang yang berada di bawah naungan 3.000 perusahaan outsourcing.
Dia mengatakan jumlah pekerja alih daya berpotensi lebih tinggi karena banyak yang tak terdata dan praktik alih daya abal-abal masih kerap ditemukan.
Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bob Azam mengemukakan dilonggarkannya jenis bisnis yang bisa menggunakan tenaga alih daya bisa membuka peluang terdistribusinya pekerjaan.
Artinya, aktivitas produksi nantinya tidak akan dimonopoli oleh segelintir perusahaan besar yang melakukan rekrutmen mandiri, namun tersebar pula pada skala usaha yang lebih kecil.
“Misal begini, saya di perusahaan otomotif bisa memproduksi rak sendiri bisa saja karena sudah punya manpower. Tapi kan menjadi tidak adil ketika ada skala usaha yang lebih kecil dan menyediakan pekerja dengan kompetensi tersebut,” papar Bob.
Dia pun mengemukakan bahwa kehadiran UU Cipta Kerja bisa membongkar stigma yang kerap melekat pada perusahaan outsourcing, seperti upah rendah dan tak terjaminnya perlindungan pekerja, dengan memperlebar jenis pekerjaan yang diberi izin.
Jenis pekerjaan yang bervariasi dan skala yang besar disebutnya bisa menambah pula daya tawar pekerja alih daya.
“Kalau soal kepastian karier, bahkan di perusahaan besar pun tidak ada jaminan perlindungan. Justru di UU Cipta Kerja diatur skema perlindungan misal kontrak habis. Begitu pun dengan pekerja dengan PKWT,” kata Bob.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan bahwa ke depannya perusahaan alih daya wajib berbadan hukum dan memenuhi syarat perizinan berusaha yang diterbitkan pemerintah pusat. Dengan demikian, perlindungan pekerja diharapkan menjadi lebih terjamin.
“Jadi nantinya perusahaan alih daya tidak dengan gampang melakukan rekrutmen, baik bentuknya PKWT maupun PKWTT [Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu]. Ini hal baru yang saya kira memberi kepastian perlindungan,” kata Ida, Kamis (8/10/2020).