Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Berat! Cadangan Devisa September Susut, Ketidakpastian Masih Tinggi

Penurunan cadangan devisa dipicu oleh beratnya kondisi pandemi Covid-19. Kondisi ini berisiko membatasi pemulihan dan masih memberikan ketidakpastian pada pasar keuangan domestik.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro (dari kanan), Head of Fixed Income Mandiri Sekuritas Handy Yunianto, dan Chief Economist Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy menjadi pembicara dalam Macroeconomic Outlook di Jakarta, Rabu (15/5/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro (dari kanan), Head of Fixed Income Mandiri Sekuritas Handy Yunianto, dan Chief Economist Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy menjadi pembicara dalam Macroeconomic Outlook di Jakarta, Rabu (15/5/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa mengalami penyusutan dari US$137,0 miliar pada Agustus 2020 menjadi sebesar US$135,2 miliar pada September 2020.

Penurunan tersebut disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Meski turun, BI mengklain posisi cadangan devisa pada September 2020 tetap tinggi, setara dengan pembiayaan 9,5 bulan impor atau 9,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro, penurunan cadangan devisa merupakan dampak buruk dari pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini dan diperkirakan akan berlanjut hingga akhir 2020.

Hal ini akan membatasi pemulihan dan masih memberikan ketidakpastian pada pasar keuangan domestik, yang memicu pada peningkatan risiko capital flight.

Selain itu, aliran masuk investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI) juga cenderung stagnan karena pandemi telah mengganggu rantai pasokan global.

"Hal ini berdampak pada tekanan pada neraca pembayaran [balance of payment/BoP], cadangan devisa, dan nilai tukar rupiah," kata Andry, Rabu (7/10/2020).

Meski demikian, kata Andry, kinerja impor saat ini masih cenderung melambat dibandingkan ekspor dikarenakan banyak perusahaan telah mengurangi, bahkan menunda kegiatan produksi dan investasi di tengah pandemi.

Impor yang masih lemah menurutnya akan mengurangi defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), sehingga dapat mendukung neraca pembayaran.

Andry menambahkan, katalis positif untuk neraca pembayaran mungkin berasal dari perkembangan positif vaksin Covid-19. Sementara, Omnibus Law yang baru disahkan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap FDI tahun ini karena pemerintah perlu terlebih dahulu menyusun berbagai regulasi untuk detail pelaksanaannya.

"Kami perkirakan CAD akan sebesar -1,49 persen dari PDB pada 2020 karena permintaan domestik yang sangat lesu. Angka tersebut diperkirakan lebih kecil dari realisasi 2019 yang sebesar -2,72 persen dari PDB," jelasnya.

Andry juga memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diproyeksikan akan ditutup pada level Rp14.296 pada akhir 2020, masih terdepresiasi dibandingkan akhir 2019 yang sebesar Rp13.866.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper