Bisnis.com, JAKARTA – Pakar ketenagakerjaan Universitas Airlangga Hadi Subhan mengatakan manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diatur pemerintah dalam Undang-Undang Cipta Kerja berpotensi tidak mencakup seluruh pekerja.
Dia mengemukakan hal itu dilatarbelakangi penyelenggaraannya oleh Badan Penjaminan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, sehingga membuat manfaat program tersebut hanya dinikmati terbatas oleh pesertanya.
"Sama dengan subsidi gaji. Padahal, yang kita tahu BPJS Ketenagakerjaan hanya mencakup 70 persen pekerja dari sektor formal. Pekerja-pekerja informal di UMKM dan lain-lain belum tercakupi. Jadi, mereka tidak akan dapat," kata Hadi kepada Bisnis pada Selasa (6/10/2020).
Menurutnya, diperlukan pemerintah perlu melakukan sejumlah antara lain; perbaikan terkait dengan sistem cakupan ketenagakerjaan; meningkatkan pengawasan; dan memastikan iuran benar-benar dibayar oleh pemerintah.
Hadi mengingatkan agar JKP tidak mengulangi praktik jaminan pensiun sebelumnya. Diawali dengan harapan yang besar, kata Hadi, jaminan pensiun hanya 3 persen dari upah bulanan pekerja dan 1 persen ditanggung oleh pekerja.
"Demikian juga JKP ini jangan sampai ini harapan yang kosong. Idealnya, Premi satu tahun setara dengan gaji 1 kali. Misal, gaji Rp4,5 juta, ya, berarti setahun Rp4,5 juta untuk meng-cover JKP. Jadi, nanti kalau pekerja itu bekerja selama 20 tahun, dia akan dapat 20 kali upah," ujarnya.