Bisnis.com, JAKARTA - PT Kereta Api Indonesia (Persero) membantah perubahan logo baru perseroan pada HUT Ke-75 menjadi langkah pemborosan di tengah pandemi karena implementasinya melalui sejumlah media dilakukan secara bertahap.
VP Public Relations KAI Joni Martinus mengatakan hadirnya visi dan budaya perusahaan yang baru, perlu diikuti dengan perubahan logo sebagai upaya transformasi yang berkelanjutan. Joni menyebutkan tak hanya logo KAI, perubahan logo juga dilakukan pada anak usaha KAI.
Logo anak usaha KAI kini terdiri dari logo KAI dan nama anak perusahaan. Perubahan tersebut diharapkan akan semakin mengintegrasikan bisnis KAI Group dan memudahkan proses komunikasi dengan para stakeholder.
"Pembuatan logo tersebut sudah melalui proses pertimbangan yang matang dan mendalam dari berbagai aspek. Penerapan perubahan logo baru ini akan dilakukan secara bertahap pada berbagai media yang memungkinkan,"jelasnya, Senin (5/10/2020).
Adapun budaya perusahaan KAI juga telah berubah pada 14 Agustus 2020 menjadi AKHLAK yaitu Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif. Adapun sebelumnya, sejak 2011, budaya perusahaan KAI adalah 5 Nilai Utama yaitu Integritas, Profesional, Keselamatan, Inovasi, dan Pelayanan Prima.
Joni menjelaskan bahwa perubahan logo ini merupakan rangkaian dari transformasi perusahaan dari berbagai aspek yang sudah terjadi sebelumnya.
Baca Juga
Logo baru ini akan memberikan spirit baru bagi KAI dan meremajakan KAI supaya tetap relevan dengan perubahan zaman. Selain itu, hadirnya logo baru ini diharapkan akan menjadikan momentum bagi KAI untuk dapat bertahan pada masa pandemi dan terus berkembang di masa yang akan datang.
Sebelumnya langkah KAI yang mengganti logo barunya bersamaan dengan perayaan HUT-nya yang ke-75 dinilai belum relevan karena juga berpotensi melakukan pemborosan di tengah pandemi ini.
Direktur Eksekutif Instran Deddy Herlambang mengatakan pergantian logo-logo sebuah korporasi besar tidak cukup penting. Pasalnya logo terakhir KAI dilakukan pada 2011 melalui lomba logo yang diberikan kepada publik.
Namun kini belum genap 10 tahun, logo tersebut sudah dirombak kembali.
Padahal, kata dia, dalam membangun citra untuk logo tidak cukup hanya memakan waktu 5 tahun - 10 tahun, tetapi juga perlu waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun.
“Kami menyayangkan karena pada masa pandemi ini malah pemborosan dalam biaya karena pergantian logo ini, otomatis semua marketing-kit, dari sarana, prasarana, hingga baju seragam, alat-alat administrasi dll hingga ke anak-anak perusahaan akan berganti logo semua, tentunya biaya tidak sedikit,” jelasnya.
Deddy berpendapat lebih baik dana yang tersedia digunakan untuk keperluan perbaikan pelayanan KAI hingga anak perusahaannya yang masih membutuhkan biaya.
Dia mencontohkan untuk pelayanan di stasiun Tanahabang atau di stasiun lain yang memerlukan peninggian peron supaya sama dengan tinggi kereta. Sinkronisasi SPM perkeretaapian tentunya juga membutuhkan biaya.
Sebuah logo, tekannya, adalah sebuah representasi visi dan misi yang bermakna berat menyangkut citra untuk sebuah korporasi termasuk di dalamnya pelayanan, marketing, SDM, sarana, prasarana, keuangan, dan lainnya.
“Jadi yang penting pelayanan nya yang baru bukan logonya yang baru. Pergantian logo KAI sangatlah tidak produktif untuk pelayanan transportasi itu sendiri,” tekannya.