Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di ambang pengesahan menjadi undang-undang setelah rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah menyepakati hal tersebut.
Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas saat memimpin rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I dengan pemerintah di Jakarta pada Sabtu (4/10/2020) malam mengemukakan bahwa RUU Cipta Kerja telah disetujui untuk kemudian dilanjutkan dalam pengambilan keputusan di tingkat selanjutnya atau tingkat II, yaitu dalam Rapat Paripurna.
Dalam rapat itu, tujuh fraksi melalui pandangan fraksi mini fraksi telah menyetakan persetujuan mereka yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Sementara itu, dua fraksi menyatakan menolak RUU Ciptaker tersebut yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. "Tujuh fraksi menerima dan dua menolak, tapi pintu komunikasi tetap dibuka, hingga menjelang Rapat Paripurna," kata Supratman seperti ditulis Antara.
Fraksi Demokrat yang diwakili anggotanya Hinca Panjaitan menganggap pengesahan RUU Ciptaker kurang tepat di tengah kondisi masyarakat yang sedang kesusahan akibat pandemi Covid-19. "Kami menyatakan menolak pembahasan RUU ini."
Dia menilai masih banyak substansi RUU yang bisa dibahas lebih detil dan komprehensif. Pengesahan RUU Ciptaker dalam waktu dekat dianggap terburu-buru dan tidak urgen ketika masyarakat masih dilanda kesusahan akibat pandemi.
Baca Juga
Hal serupa juga disampaikan oleh fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah. Dia juga menilai pembahasam RUU Ciptaker seharusnya bisa dibahas secara detil dan komprehensif.
Apresiasi Keterbukaan
Menanggapi persetujuan RUU ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menjadi wakil pemerintah memberikan apresiasi atas selesainya pembahasan RUU Ciptaker di tingkat Baleg.
"Pemerintah mengapresiasi segala keterbukaan dalam proses pembahasan serta mendapatkan tanggapan dari masyarakat dengan kerja yang tidak mengingat waktu," ujarnya.
Dia memastikan RUU itu akan mendorong efisiensi maupun debirokratisasi, karena memberikan kemudahan dan mempercepat proses perizinan berusaha, terutama bagi UMKM maupun koperasi.
"UMKM mendapatkan kemudahan, termasuk perusahaan terbuka perorangan dengan cukup mendaftar dan biayanya kecil. Koperasi juga dipermudah, sertifikat halal dipermudah melalui perrguruan tinggi dan ormas Islam dengan fatwa MUI [Majelis Ulama Indonesia]," paparnya.
Selain itu, lanjutnya, RUU Ciptaker bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat yang selama ini sudah menggarap lahan di kawasan hutan, mempermudah perizinan bagi nelayan, menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dan mendorong bank tanah untuk reformasi agraria.
Bagi para buruh, menurut Airlangga, regulasi ini juga memberikan berbagai kepastian antara lain adanya jaminan apabila kehilangan pekerjaan, persyaratan ketat PHK, dan memperkuat hak pekerja perempuan, seperti cuti haid atau cuti hamil yang sudah ada di UU Ketenagakerjaan.
Dia memastikan RUU itu juga memberikan peran yang jelas bagi pemerintah daerah dalam pemberian proses perizinan yang disesuaikan dengan NPSK (norma, standar, prosedur, dan kriteria) dari pemerintah pusat serta rancangan tata ruang wilayah dan kebijakan satu peta.
Airlangga menambahkan RUU ini juga memberikan perizinan berbasis risiko untuk memperkuat daya saing dan produktivitas di bidang-bidang usaha terkait serta memberikan sanksi administrasi dan pidana yang jelas terkait dengan lingkungan hidup dan apabila terjadi kecelakaan kerja.
Sebelumnya, RUU Ciptaker yang juga sering disebut Omnibus Law diajukan pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan investasi yang selama ini masih menghambat kinerja perekonomian nasional.
RUU yang diajukan kepada DPR sejak 7 Februari 2020 ini sempat mendapat tentangan dari masyarakat terutama buruh, karena dianggap hanya menguntungkan para pengusaha, dapat menggusur masyarakat adat, serta berpotensi mengganggu lingkungan dan kelestarian alam.
Berdasarkan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, RUU harus melalui dua tingkat pembicaraan.
Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Selanjutnya, pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi, penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I, yang selanjutnya untuk disepakati atau tidak menjadi UU.