Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat akan memblokir pengiriman minyak sawit dari FGV Holdings Berhad, produsen utama Malaysia yang masuk ke rantai pasokan merek makanan dan kosmetik atau perusahaan besar di AS.
AS menemukan indikator kerja paksa, termasuk kekhawatiran tentang adanya pekerja anak, bersama dengan pelanggaran lain seperti kekerasan fisik dan seksual.
Brenda Smith, Asisten Komisaris Eksekutif di Kantor Bea Cukai dan Perlindungan Perdagangan Perbatasan AS, mengatakan bahwa perintah terhadap FGV Holdings Berhad, salah satu perusahaan minyak sawit terbesar Malaysia dan mitra usaha patungan dengan raksasa produk konsumen Procter & Gamble mulai berlaku Rabu, (30/9/2020)
Tindakan tersebut, diumumkan seminggu setelah kantor berita The Associated Press (AP) mengungkap pelanggaran terhadap ketenagakerjaan di industri minyak sawit Malaysia, dipicu oleh petisi yang diajukan tahun lalu oleh organisasi nirlaba.
“Kami akan mendesak komunitas pengimpor AS lagi untuk melakukan uji tuntas. Kami juga akan mendorong konsumen AS untuk bertanya tentang dari mana produk mereka berasal,” kata Smith seperti dikutip dari AP, Rabu (30/9/2020).
Malaysia adalah produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia. Bersama dengan Indonesia, kedua negara mendominasi pasar global, menghasilkan 85 persen dari pasokan senilai US$65 miliar.
Baca Juga
Minyak kelapa sawit dan turunannya dari FGV dan perusahaan milik negara Malaysia yang terkait erat, Felda, masuk ke rantai pasokan perusahaan multinasional besar seperti Nestle, L’Oreal, dan Unilever.
Smith mengatakan bahwa lembaganya melakukan penyelidikan selama setahun dan menyisir laporan dari lembaga nirlaba dan media, termasuk penyelidikan AP.
Reporter AP mewawancarai lebih dari 130 mantan pekerja dan saat ini dari delapan negara di dua lusin perusahaan kelapa sawit—termasuk Felda, yang memiliki sekitar sepertiga saham FGV.
Mereka menemukan persoalan mulai dari gaji yang belum dibayar hingga perbudakan langsung dan tuduhan pemerkosaan, terkadang melibatkan anak di bawah umur. Mereka juga menemukan Muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan, salah satu minoritas paling teraniaya di dunia, telah diperdagangkan ke perkebunan Malaysia dan dipaksa bekerja.
Banyak masalah yang diperinci oleh Smith serupa dengan yang ditemukan oleh AP.
Dia mengatakan bahwa pihaknya menemukan indikator pembatasan pergerakan di perkebunan, isolasi, kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penyimpanan dokumen identitas, pemotongan gaji, jeratan utang, kondisi kerja dan hidup yang kasar, lembur yang berlebihan, dan kekhawatiran tentang potensi pekerja anak secara paksa.