Bisnis.com, JAKARTA — Deflasi yang terjadi dalam 2 bulan terakhir menjadi indikasi kuat bahwa daya beli masyarakat Indonesia belum pulih. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, indeks harga konsumen sepanjang Agustus mengalami deflasi 0,05 persen.
“Daya beli masyarakat belum pulih karena pandemi Covid-19,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Selasa (1/9/2020).
Kondisi permintaan yang masih lemah menjadi ancaman tersendiri bagi industri karena serapan produk industri belum bisa optimal di tengah perbaikan aktivitas. Padahal, sektor manufaktur mulai memperlihatkan tren ekspansi berdasarkan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari IHS Markit yang mencatat dari 46,9 pada Juli 2020 menjadi 50,8 pada Agustus 2020.
“Kalau kita bedah, tidak semua manufaktur mengalami pelemahan permintaan. Makanan dan minuman, APD, dan farmasi masih bagus. Namun, barang-barang tersier seperti otomotif drop sekali. Boro-boro menaikkan harga, kelompok kelas menengah dan atas juga menahan konsumsi dan lebih banyak menabung,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Johnny Darmawan saat dihubungi Bisnis, Selasa (1/9/2020).
Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa pemerintah perlu memilah industri mana saja yang ingin dimaksimalisasi dengan mempertimbangkan kondisi permintaan atau kesiapan industri memanfaatkan teknologi guna mengurangi risiko penyebaran wabah.
“Jika pemerintah ingin mendorong industri, perlu didorong juga permintaannya. Jangan push industri yang tidak ada demand-nya!” kata Johnny.
Baca Juga
Penanggulangan Covid-19 pun tetap harus menjadi fokus utama pemerintah mengingat industri hanya diperkenankan beroperasi sesuai dengan protokol kesehatan.
Johnny menyoroti lonjakan kasus positif Covid-19 dalam beberapa hari terakhir yang kerap mencetak rekor.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menjelaskan bahwa pelaku usaha senantiasa menyesuaikan produksi sesuai dengan kondisi pasar.
Menurutnya, peningkatan konsumsi domestik memang cenderung lambat usai pembatasan sosial berskala besar dilonggarkan karena stimulus pemerintah kurang lancar realisasinya.
Selain itu, dia melihat belum ada peningkatan investasi yang signifikan dan bisa menciptakan lapangan kerja.
“Dalam kondisi ini tentu tidak rasional bila industri mengambil risiko peningkatan produksi. Perlu ada driver dan trigger pada konsumsi atau pendapatan masyarakat,” ujarnya.
Dalam menyiasati permintaan yang belum pulih, Shinta mengatakan bahwa mayoritas perusahaan mengutamakan efisiensi dalam operasional atau penghematan besar-besaran. Tak jarang, katanya, perusahaan yang beroperasi dalam kondisi merugi karena skala ekonomi tidak terpenuhi sehingga menggerus modal perusahaan.
“Jika dibiarkan tanpa ada suntikan investasi atau modal baru dan tidak ada perbaikan kinerja pasar yang signifikan dalam waktu dekat, perusahaan akan mati perlahan-perlahan,” kata Shinta.