Bisnis.com, JAKARTA - Pengaduan konsumen dari sektor properti sepanjang tahun ini masih tergolong tinggi. Sebagian besar pengaduan yang masuk ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) datang dari konsumen di sektor tersebut.
Wakil Ketua BPKN Rolas Budiman Sitinjak mengatakan bahwa hingga saat ini pihaknya masih menerima cukup banyak laporan masalah perlindungan konsumen sektor properti. Dari 2.695 pengaduan yang masuk hingga Juni 2020, 2.260 diantaranya merupakan pengaduan dari konsumen sektor properti, baik untuk subsektor rumah tapak maupun rumah susun atau apartemen.
Dalam catatan Bisnis, sepanjang tahun lalu aduan sektor properti ke BPKN berada di peringkat pertama yang mencapai 1.371 laporan dari total pengaduan seluruhnya mencapai 1.518.
“Paling banyak itu [pengaduan] kelalaian pelaku usaha yang tidak menyelesaikan pembangunannya tepat waktu. Kedua adalah masalah pembiayaan, banyak sekali ternyata perbankan yang membiayai rumah bodong dan tidak diketahui konsumen hingga rumah itu lunas,” katanya ketika dihubungi Bisnis belum lama ini.
Adapun rumah bodong yang dimaksud Rolas adalah rumah yang sertifikat tanah maupun bangunannya sedang diagunkan oleh pembeli atau penjual ke pihak lainnya. Sertifikat tersebut bisa diagunkan sebelum rumah terjual atau saat konsumen masih dalam periode cicilan dengan pihak perbankan.
Nahasnya lagi, beberapa konsumen melaporkan bahwa pengembang yang mengagunkan sertifikat tanah maupun bangunannya mengalami pailit sehingga sulit memenuhi kewajibannya kepada konsumen dan kreditur yang memegang sertifikat tersebut.
“Kalau sudah begini sulit, mau bagaimana? Mau minta [sertifikat] ke bank tempat kita membayar cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) tidak bisa. Developer-nya sudah lepas tangan dan sertifikat entah kemana,” tuturnya.
Lebih lanjut, Rolas menjelaskan hal yang harus dilakukan oleh konsumen sebelum memutuskan untuk membeli produk properti adalah mengecek status dokumen secara langsung ke Kantor Administrasi Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) setempat. Apabila diketahui sertifikat dari properti yang akan dibeli sedang diagunkan jangan coba-coba untuk membelinya.
“[Sebanyak] 60-70 persen developer itu membangun proyeknya dengan pinjaman. Bisa saja pinjaman itu diperoleh dari mengagunkan sertifikat rumah atau tanah yang mereka jual. Hal ini juga berlaku untuk apartemen,” ungkapnya.
Menurutnya, banyaknya kasus rumah bodong merupakan bukti bahwa keberadaan mafia properti dan perbankan bukanlah isapan jempol belaka.
“Bagaimana mungkin perbankan bisa membiayai rumah yang sertifikatnya sedang diagunkan ke bank lain. Dokumen yang dipegang oleh bank itu apa? Ini tentunya ada mafia, mengerikan sekali karena masyarakat yang jadi korbannya,” tambahnya.