Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diharapkan dapat memprioritaskan usaha mikro, kecil, dan menengah sektor pariwisata dalam penyaluran anggaran pemulihan ekonomi nasional.
UMKM di sektor ini dinilai telah tertekan terlalu dalam karena roda bisnis tak bergerak optimal sejak kuartal I 2020.
“UMKM sekarang butuh modal untuk bangkit, tapi memang ada yang harus menjadi prioritas. Contohnya pariwisata yang berdarah-darah sejak awal tahun,” ujar Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun saat dihubungi, Kamis (6/8/2020).
Menurutnya, tak semua jenis usaha berskala mikro, kecil dan menengah terdampak berat selama pandemi. Untuk UMKM kuliner, misalnya, Ikhsan menyebutkan masih terdapat tren pertumbuhan penjualan, terutama pada segmen penjualan secara daring.
“Catatan kami ada kenaikan 15 persen bulan lalu, mungkin sekarang meningkat lagi untuk UMKM makanan,” ujarnya.
Dia mengemukakan bahwa tekanan pada sektor pariwisata terjadi lantaran kebijakan pembatasan pergerakan yang berlaku pada Maret. Kondisi ini pun kian memburuk seiring dengan menurunnya kepercayaan masyarakat untuk bepergian kala wabah Covid-19 belum tertanggulangi.
Baca Juga
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, lapangan usaha yang berhubungan dengan pariwisata tercatat mengalami penurunan paling dalam, yakni akomodasi, makanan minuman, serta transportasi.
Lapangan usaha akomodasi dan makanan minuman turun sampai -22,02 persen pada kuartal II/2020 dibandingkan dengan tahun lalu, sedangkan transportasi terkontraksi 30,84 persen.
“UMKM yang berkaitan dengan pariwisata jelas kesulitan, seperti penyewaan motor, mobil, kerajinan tangan, perak, banyak yang hancur lebur. Menurut kami, ini perlu dapat prioritas. Namun, yang lain seperti fesyen dan kuliner tetap harus diperhatikan juga,” tuturnya.
Penyelamatan sektor UMKM, kata Ikhsan, lebih berfokus pada usaha yang memproduksi barang atau pengolahan. Untuk UMKM di pariwisata yang banyak bergerak di bidang jasa, dia menilai hal ini akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah, termasuk ketentuan apakah destinasi wisata akan dibuka atau tidak.
“Jika yang ditawarkan jasa, tentu akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dan bagaimana protokol kesehatan dapat tetap berjalan sehingga bisnis pariwisata dapat berjalan dengan kepercayaan diri,” kata Ikhsan.