Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terus Digodok, ini Pentingnya Perpres EBT

Perpres EBT mampu menjadi jawaban atas berbagai permasalahan saat ini dengan memberikan net benefit yang positif
Pekerja melakukan pemeriksaan rutin jaringan instalasi pipa di wilayah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Salak yang berkapasitas 377 megawatt (MW) milik Star Energy Geothermal, di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/4/2018)./JIBI-Rachman
Pekerja melakukan pemeriksaan rutin jaringan instalasi pipa di wilayah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Salak yang berkapasitas 377 megawatt (MW) milik Star Energy Geothermal, di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/4/2018)./JIBI-Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah menggodok rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur harga listrik energi baru terbarukan (EBT).

Langkah ini merupakan terobosan kebijakan pemerintah dalam membangun kepercayaan investor dalam menjalankan bisnis energi bersih melalui pengaturan skema harga yang kompetitif.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto meyakini rancangan Perpres EBT ini telah mendapat dukungan penuh dari para pengusaha EBT. Ini ditunjukkan dengan adanya sinergi komunikasi kepada mereka selama proses penyusunan regulasi.

"Ini kami susun bersama-sama dengan para pelaku usaha. Jadi kami komunikasikan dan melakukan benchmarking terhadap proyek-proyek yang ada. Fasilitasi ini diharapkan mendukung pendanaan bagi dunia usaha mereka," kata Sutijastoto dikutip dari siaran pers, Rabu (29/7/2020).

Menyoal target penyelesaian beleid tersebut, Kementerian ESDM terus melakukan komunikasi dengan kementerian terkait agar rancangan Perpres EBT cepat diselesaikan.

"Sedang dibahas antarkementerian. Ya semoga sebelum akhir tahun sudah selesai," katanya.

Sutijastoto menilai saat ini dengan mengandalkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM saja, belum cukup menstimulus lahirnya kontrak-kontrak EBT yang baru. "Makanya untuk membangun level kompetitif, harga EBT nanti ditentukan melalui Perpres EBT. Ini sangat penting," ujarnya.

Belum optimalnya pasar EBT di Indonesia menjadi tantangan tersendiri mengingat skala keekonomian seringkali dianggap kurang kompetitif ditandai dengan tingginya harga beli EBT.

"Pabrikan-pabrikan PLTS kita itu baru pabrikan solar panel. Itupun kapasitasnya kecil-kecil, paling besar 100 megawatt (MW). Apalagi bahan bakunya masih impor, akibatnya harganya cukup tinggi," jelasnya.

Sebagai perbandingan, Sutijastoto mengungkapkan, harga PLTS di Indonesia telah mencapai US$1 per wattpeak, sementara di China sudah berada di level US$20-30 sen per wattpeak dengan kapasitas 500 MW hingga 1.000 MW. "Semoga dengan Perpres ini market kita bisa bekembang," katanya.

Menurutnya, perpres EBT mampu menjadi jawaban atas berbagai permasalahan saat ini dengan memberikan net benefit yang positif. Dengan masifnya pemanfaatan EBT akan menciptakan nilai-nilai ekonomi baru serta banyak memberikan manfaat, seperti menghasilkan energi bersih, menciptakan harga listrik yang terjangkau, maupun meningkatkan investasi nasional dan daerah.

Di samping itu, pengembangan EBT juga mendorong pertumbuhan industri dan ekonomi dalam negeri, mendorong munculnya pengusaha baru, hingga meningkatkan ketahanan energi dan ekonomi nasional.

"Banyak sumber-sumber energi nasional itu ada dalam negeri sehingga mampu keluar dari jebakan neraca perdagangan," kata Sutijastoto.

Urgensi lain dari pembentukan rancangan Perpres ini adalah belum ada kontrak atau Power Purchase Agreement (PPA) pembangkit IPP yang proses pengadaannya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Secara teknis, Direktur Aneka Energi Harris menyinggung mekanisme penentuan harga yang akan ditentukan dalam rancangan Perpres EBT.

"Jadi hanya ada tiga, yaitu harga Feed in Tariff, Harga Patokan Tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan," ujar Harris.

Pemerintah berharap beleid baru ini mendapat dukungan dari berbagai stakeholder terkait. Dukungan ini menjadi bagian dari sinergi dan sinkronisasi atas instrumen kebijakan yang akan dijalankan di kemudian hari.

"Ini yang terjadi di PLTA, pungutan air baik pusat maupun di daerah cukup besar bahkan sampai Rp250 per kWh. Ini yang sedang kita perbaiki," kata Sutijastoto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper