Bisnis.com, JAKARTA - Industri batu bara kini berada dalam survival mode atau mode bertahan hidup di tengah tantangan tren penurunan harga dan permintaan batu bara.
Tren penurunan harga semakin tak terhindarkan seiring dengan turunnya permintaan batu bara dari negara-negara importir akibat pandemi Covid-19, sementara sisi suplai melimpah di pasaran.
Berdasarkan data Ditjen Minerba Kementerian ESDM, realisasi ekspor batu bara sepanjang semester I/2020 mencapai 152,75 juta ton. Realisasi ini turun 32,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 226,99 juta ton.
Sementara itu, realisasi produksi batu bara pada paruh pertama tahun ini telah mencapai 280,8 juta ton atau turun 5,43 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yang mencapai 296,94 juta ton.
Kondisi ini membuat perusahaan batu bara terus melakukan efisiensi untuk dapat menjaga keberlangsungan usaha. Pengusaha pun harap-harap cemas agar tidak ada lagi gelombang kedua Covid-19 atau hal lain yang bisa mengubah peta permintaan batu bara.
"Bagaimana ke depan akan sangat bergantung bagaimana negara-negara importir batu bara kita, terutama Tiongkok, India, negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, dapat menangani pandemi Covid-19. Kami berharap pada perbaikan ekonomi yang sudah mulai di China, India yang juga mulai menggeliat," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Baru Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia dalam suatu forum diskusi energi, Selasa (28/7/2020).
Hendra mengatakan, untuk bertahan hidup tiap perusahaan memiliki strategi masing-masing. Salah satunya, beberapa perusahaan berencana menaikkan produksi untuk mempertahankan market share-nya, terlebih di tengah semakin ketatnya persaingan di pasar global maka mempertahankan market share menjadi penting.
Baca Juga
Menghadapi kondisi berat ini, pengusaha berharap agar mendapat dukungan insentif dari pemerintah berupa relaksasi pembayaran royalti, seperti penghapusan Harga Patokan Batubara (HPB) untuk acuan perhitungan royalti dan PNBP hingga perpanjangan jatuh tempo untuk finalisasi royalti.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan, pemerintah akan semaksimal mungkin untuk memberikan fasilitas dukung yang diperlukan agar industri batu bara dapat berkelanjutan. Sebab industri emas hitam ini menjadi penyumbang penerimaan pajak yang cukup besar.
"Batu bara ini penopang utama PNBP di sektor minerba, 80 persen dari batu bara. Batu bara ini terletak hampir di semua pulau-pulau besar dan melibatkan banyak pekerja maka multifier efek yang sangat besar sehingga keberlanjutan batu bara ini penting kita maintain," kata Sujatmiko.
Salah satu upaya untuk memberikan kepastian investasi dan keberlanjutan usaha batu bara diwujudkan melalui terbitnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Salah satu poin yang diatur adalah pemegang Kontrak Karya dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian setelah memenuhi persyaratan.
Pemerintah juga meyakini terbitnya undang-undang baru ini akan menjadikan tata kelola tambang menjadi lebih baik.
Saat ini, Kementerian ESDM sedang menyiapkan tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksanaan UU Minerba baru. Sujatmiko menurutkan, ketiga RPP tersebut terdiri atas RPP tentang wilayah pertambangan, RPP pengusahaan pertambangan minerba, dan RPP tentang pembinaan, pengawasan dan reklamasi serta pascatambang.