Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Abdul Manap Pulungan

Ekonom Indef

Abdul Manap Pulungan adalah Ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance). Alumni S-1 bidang Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Brawijaya ini meraih gelar magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Universitas Indonesia pada tahun 2014.

Lihat artikel saya lainnya

Credit Crunch: Kredit Seret, Pemulihan Ekonomi Lelet

Sebagai negara yang ditopang oleh kekuatan sektor perbankan, credit crunch (kredit melambat dari sisi permintaan dan penawaran) akan berdampak buruk terhadap pemulihan ekonomi.
Pelaku UMKM Dapat Subsidi Bunga Kredit, Ini Syaratnya
Pelaku UMKM Dapat Subsidi Bunga Kredit, Ini Syaratnya

Realisasi pertumbuhan kredit terus melambat. Bahkan, pada Mei, kredit bank umum hanya tumbuh 3,04% (yoy). Angka tersebut merupakan pertumbuhan terendah sejak 1997-1998. Pada sisi lain, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) cukup tinggi, mencapai 8,8% (yoy). Alhasil margin pertumbuhan DPK dan pertumbuhan kredit relatif lebar.

Kondisi ini menunjukkan bahwa likuiditas bank umum relatif longgar. Likuiditas longgar diharapkan mendorong bank mengoreksi suku bunga kredit. Sementara itu, suku bunga acuan telah dikoreksi sekitar 75 basis point (bps) sejak awal tahun hingga Juni. Otoritas moneter pun menstimulus bank umum dengan berbagai kebijakan yang mendorong relaksasi likuiditas, seperti koreksi Giro Wajib Minimum (GWM).

Berbagai stimulus likuiditas oleh otoritas moneter belum mampu mendorong penurunan suku bunga kredit. Koreksi suku bunga modal kerja bank umum mencapai 53 bps (Mei 2019-Mei 2020) dan suku bunga kredit investasi serta suku bunga kredit konsumsi masing-masing 55 bps dan 21 bps.

Sementara itu suku bunga deposito turun lebih rendah. Pada simpanan 1 bulan, koreksi suku bunga hanya 34 bps dari Januari-Mei, sedangkan pada simpanan 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dan 24 bulan masing-masing turun 40 bps, 44 bps, 34 bps, dan 3 bps.

Situasi tersebut cukup langka. Biasanya suku bunga kredit lebih rigit terkoreksi dibandingkan suku simpanan. Kondisi yang demikian menggambarkan bahwa bank umum sangat hati-hati merevisi suku bunga deposito untuk menjadi likuiditas seman pandemi.

Penurunan pertumbuhan kredit pada gilirannya memperlambat pemulihan ekonomi nasional dari krisis Covid-19. Perlu sokongan dana besar untuk menstimulus aktivitas produktif. Pemerintah tidak bisa terus-terusan memompa likuiditas ke perekonomian, karena keterbatasan fiskal. Jikapun dipaksakan, defisit anggaran akan terus melambung. Arahnya sudah dapat ditebak, lonjakan utang. Apalagi, biaya penerbitan surat berharga negara (SBN) sangat mahal.

Yield obligasi pemerintah menjadi yang tertinggi di antara negara-negara di Asean. Tahun ini defisit APBN mencapai 6,34% dari produk domestik bruto (PDB). Bisa lebih tinggi jika penerimaan perpajakan terus terkoreksi. Dalam berbagai situasi, pemerintah juga memberikan stimulus kepada sektor perbankan. Misalnya, penempatan dana di bank jangkar sebagai antisipasi pemburukan likuiditas.

Sayangnya, dana tersebut hanya bisa diakses oleh bank peserta restrukturisasi kredit. Syarat lainnya berupa kewajiban mengakses sumber likuiditas lain seperti pasar uang antara bank (PUAB) dan repo SBN ke Bank Indonesia sebelum mengakses dana lewat bank jangka.

Penurunan pertumbuhan kredit merupakan konsekuensi dari krisis. Kajian Bank Indonesia (2001) menyimpulkan perlambatan pertumbuhan kredit merupakan fenomena credit crunch. Credit crunch lazim terjadi saat dan pascakrisis.

Credit crunch muncul karena persoalan sisi penawaran dan permintaan kredit. Dari sisi penawaran, koreksi kredit disebabkan oleh keengganan bank untuk menyalurkan kredit karena bank lebih menghindar risiko. Saat krisis terjadi maka bank cenderung meningkatkan persyaratan kredit dan seleksi kredit yang lebih ketat.

Suku bunga bukan lagi menjadi persoalan utama saat krisis tetapi lebih kepada karakter calon debitur. Persoalan karakter terkait dengan informasi pribadi maupun proyek yang akan digarap oleh calon debitur. Meski calon debitur bersedia membayar suku bunga kredit yang lebih tinggi dan memiliki agunan berkualitas, namuan realisasi kredit tidak dilakukan jika informasi karakter debitur tidak lengkap.

Seleksi yang kian ketat terhadap calon debitur merupakan konsekuensi dari lonjakan kredit macet saat krisis. Kredit akan ditahan untuk menjaga kualitas portofolio kredit sehingga non-performing loan (NPL) berada di batas aman. Dengan demikian, bank tidak perlu menambah cadangan kerugian kredit. Tentu, penurunan cadangan kerugian tersebut bermanfaat bagi bank di tengah likuiditas yang terbatas.

Ada tiga indikator yang menunjukkan keengganan bank menyalurkan kredit. Pertama, pertumbuhan giro bank umum yang cukup tinggi dibandingkan jenis simpanan lainnya. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pertumbuh simpanan giro bank umum (rupiah dan valas) mencapai 15,97% (yoy) pada April,sedangkan pertumbuhan simpanan tabungan dan deposito masing-masing 10,2% (yoy) dan 2,52%.

Kedua, lonjakan kepemilikan SBN bank umum mencapai Rp1.008 triliun pada Juli, naik Rp268 triliun dibandingkan dengan posisi awal tahun. Porsi kepemilikan SBN bank menjadi yang tertinggi (32%) menggantikan posisi kepemilikan asing (29%). Ketiga, penerimaan jasa atau layanan yang masih tumbuh sekitar 5,7% (yoy).

Penurunan pertumbuhan kredit dari sisi permintaan disebabkan oleh memburuknya prospek ekonomi akibat pandemi. Pada akhirnya, perusahaan-perusahan menunda ekspansi bisnis, bahkan menurunkan target produksi. Tahun ini Asosiasi Pertekstilan Indonesia merevisi target pertumbuhan industrinya menjadi negatif 1,3% (yoy) dari posisi 3,5%. Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia juga demikian dengan mengoreksi tipis pertumbuhan kinerja 2020 menjadi 8%-9% dari 10%.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minum Indonesia hanya menargetkan pertumbuhan 4%-5% dari 8%-9% pada target awal. Dampaknya, kredit modal kerja hanya tumbuh 1,43% (yoy) pada Mei, sedangkan kredit konsumsi dan investasi masing-masing tumbuh 2,25% (yoy) dan 6,75% (yoy). Penurunan prospek ekonomi nasional memaksa dunia usaha memilih konsolidasi internal agar likuiditas tetap terjaga. Salah satu langkahnya dengan mengurangi utang atau pinjaman ke bank.

Sebagai negara yang ditopang oleh kekuatan sektor perbankan, credit crunch akan berdampak buruk terhadap pemulihan ekonomi. Jika credit crunch berlangsung lama akan menyebabkan kegagalan bisnis dunia usaha. Kualitas kredit perbankan pun akan terpengaruh lonjakan kredit macet. Dukungan sisi permintaan dan penawaran pun harus terus dilakukan oleh pemerintah dan otoritas sektor keuangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper