Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menegaskan bahwa rencana initial public offering pada tidak menabrak koridor hukum yang berlaku.
Nicke menjelaskan, dalam hal ini, pihaknya mengacu pada tiga undang-undang yakni UUD 1945 Pasal 33, UU Migas No.22/2001 dan UU BUMN No.19/2003.
Pada UUD 1945 Pasal 33 disebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU-I/ 2003 Dikuasai oleh negara” diartikan agar Negara dapat mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan kemakmuran rakyat.
Mengacu pada hal tersebut, Nicke mengatakan rencana restrukturisasi Pertamina dan IPO subholding Pertamina tidak dianggap melanggar Pasal 33 UUD 1945 sepanjang dalam pelaksanaannya tidak meniadakan unsur-unsur penguasaan negara.
Sementara itu, pada UU Migas No.22/2001, Nicke menyebut UU Migas tidak mengatur larangan atau membatasi Subholding yang bergerak di bidang hulu dan hilir migas tidak dapat melaksanakan kegiatan IPO.
Selain itu, rencana IPO tidak melanggar UU BUMN No. 19/2003 sepanjang rencana restrukturisasi tidak melibatkan perubahan kepemilikan saham negara dalam Pertamina dan IPO dilakukan pada Subholding di mana negara tidak memiliki saham di dalamnya, maka rencana restrukturisasi bukan merupakan privatisasi.
Baca Juga
"Kami dalam lakukan corporate action ini tentu dikaji secara hukum," katanya pada Minggu (26/7/2020).
Adapun, langkah IPO pada subholding ini telah dijalani oleh sejumlah perusahaan migas baik di regional maupun perusahaan migas global.
Di regional, kata Nicke, dari lima subholding yang dimiliki oleh Petronas, empat diantara telah tercatat sebagai perusahaan terbuka.
Selain Petronas, Nicke mencontohkan perusahaan migas global lain yang sukses melepas subholdingnya ke pasar modal seperti BP, ExxonMobil, dan PTT.
"IOC-IOC juga memilih IPO sebagai salah satu sumber pendanaan untuk tumbuh secara strategis ke depannya," ungkapnya.