Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penyederhanaan Layer Tarif Cukai, Kebijakan Pemerintah Dinilai Kian Eksesif

Salah satu kebijakan yang kembali menimbulkan keresahan banyak pengusaha rokok adalah terbitnya Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang di dalamnya terdapat penyederhanaan layer tarif cukai.
Ilustrasi asap rokok. /Bisnis.com
Ilustrasi asap rokok. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan pemerintah terhadap industri hasil tembakau (IHT) dinilai menjadi kian eksesif bagi pelaku usaha. Salah satu kebijakan yang kembali menimbulkan keresahan banyak pengusaha rokok adalah terbitnya Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang di dalamnya terdapat penyederhanaan layer tarif cukai.

Kebijakan tersebut dinilai bisa berdampak pada tutupnya pabrik rokok, khususnya pabrikan kecil dan menengah dan penyerapan komoditas tembakau dan cengkeh menjadi terancam. Padahal, selama pandemi Covid-19 banyak pelaku IHT sudah mulai merasakan dampak ekonomi yang cukup signifikan, khususnya pasca penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah.

Sebagai informasi, IHT merupakan salah satu industri yang berperan cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Kendati demikian, peredarannya termasuk yang dikontrol mengingat adanya risiko yang mungkin muncul jika dikonsumsi secara berlebihan.

Terlepas dari hal itu, industri ini memiliki rantai bisnis yang sangat luas sehingga mampu menciptakan nilai tambah di setiap lapisan operasionalnya, salah satunya menciptakan lapangan kerja.

Menyikapi hal tersebut, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan bahwa dari sektor hulu atau kesiapan bahan baku pada dasarnya produksi masih berjalan. Hanya saja, ia mengakui bahwa selama PSBB berlangsung ada pembatasan yang berdampak pada penyerapan ke pabrikan.

“Meski saat ini produksi masih berjalan, namun semasa PSBBberlangsung, pasokan ke industri pasti terganggu,” katanya.

Hendratmojo juga mengatakan pihaknya telah mendengar ada rencana pembahasan kembali penyederhanaan tarif cukai yang masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.

“Saya rasa kebijakan ini sudah dipertimbangkan oleh Kementerian Keuangan, dan pengaruhnya pada aspek hulu tidak banyak berpengaruh. Akan tetapi, jika bicara soal bagaimana penyerapan dan harga produk ke depan tentu berbeda lagi,” ungkapnya.

Belum lama ini, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengumumkan akan menerapkan kembali penyederhanaan layer. Kebijakan penyederhanaan tarif cukai ditujukan untuk mengurangi lapisan tarif cukai dari 10 layer ke 5 layer di 2021.

Kebijakan ini pernah diberlakukan sebelumnya, namun dihapuskan dengan diberlakukannya PMK No.156 Tahun 2018. Pasalnya, diskusi berbagai pihak menyepakati bahwa penyederhanaan tarif cukai yang sebelumnya juga dibarengi dengan penggabungan volume produksi SKM dan SPM ini hanya akan membuat industri kecil dan menengah tidak memiliki daya saing, sehingga hanya industri yang besar dan berada di golongan satu sajalah yang dapat bertahan dan berkembang.

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, saat ini pemerintah tidak memiliki posisi jelas untuk menentukan masa depan sektor IHT.

“Pada satu titik, perlu ada kejelasan aturan, industri ini mau diapakan. Apakah akan dilarang total, atau bagaimana. Tidak bisa latah mengikuti kebijakan negara lain karena sektor ini unik. Selama pandemi, sumbangan IHT adalah satu-satunya yang masih stabil, sehingga harus ada roadmap aturan yang jelas danmampu mengakomodasi semua sektor dari hulu-hilirnya seperti komoditas tanamannya, petaninya mau dikemanakan, pabrikan, buruh, sampai perdagangannya harus dipikirkan akan seperti apa ke depan. Sebelum pandemi, cukai rokok itu, kan, posisi ketiga tertinggi setelah PPH dan PPN. Kalau sudah ada kejelasan, saya yakin regulasi IHT tidak akan terus menerus gaduh dan tarik ulur. Kuncinya punya roadmap, tidak bisa asal ikutin negara lain karena sudah pasti akan salah langkah,” tutur Enny.

Terkait penyederhanaan layer dan penggabungan volume produksi SKM dan SPM, Enny menekankan produk tembakau di Indonesia ini unik karena adanya komoditas kretek yang menjadi ciri khas produk Indonesia.

“Nah, yang menarik adalah rencana penggabungan SKM dan SPM ini. Karena masing-masing generiknya saja sudah berbeda, yang satu kretek, yang lainnya rokok putih. Kalau klasifikasinya sudah beda, bagaimana mau disamakan,” katanya.

Adanya aturan yang seakan terburu-buru dipandang Enny semakin menimbulkan ketidakpastian dan mengancam IHT.

“Jika semakin eksesif dan dipaksakan, kelompok usaha yang di struktur dua akan kolaps karena kalah bersaing, dan yang harus diwaspadai kalau produk dari golongannya hilang di pasaran, justru rokok ilegal bisa makin naik. Sudah enggak optimal pendapatannya, enggak mencapai target juga di sisi kesehatan,” tutur Enny.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Herdiyan
Editor : Herdiyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper