Bisnis.com, JAKARTA – Pemulihan ekonomi China rentan hilang momentum di tengah pergulatan mitra dagang utamanya dalam mengatasi kebangkitan infeksi virus Corona yang mematikan.
Meski negara berekonomi terbesar kedua di dunia itu berhasil mencetak pertumbuhan positif pada kuartal kedua karena upaya yang relatif berhasil dalam menahan penyebaran Covid-19, sebagian dari momentum ini bergantung pada situasi global.
“Situasi Covid-19 terus memburuk di beberapa bagian dunia," ujar Kepala ekonom untuk Greater China dan Asia Utara di Standard Chartered Plc. Ding Shuang.
“Hal ini dapat melemahkan permintaan untuk barang dan jasa China sekaligus merupakan risiko utama yang dihadapi ekonomi China,” tambahnya, dilansir dari Bloomberg.
Risiko global ini tampak setelah rilis serangkaian data ekonomi pada Kamis (16/7/2020) menunjukkan pemulihan yang stabil tetapi tidak merata.
Produk domestik bruto (PDB) China dilaporkan berekspansi 3,2 persen pada kuartal II/2020 dari tahun sebelumnya. Tak hanya lebih baik dari dari proyeksi median sebesar 2,4 persen, capaian tersebut memutar balik kontraksi sebesar 6,8 persen pada kuartal I/2020.
Baca Juga
Meski demikian, PDB China masih turun 1,6 persen pada semester I/2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019.
Laporan yang sama menunjukkan produksi industri meningkat 4,8 persen pada Juni dari tahun sebelumnya, tetapi penjualan ritel menyusut 1,8 persen atau berbanding terbalik dari proyeksi peningkatan 0,5 persen.
Sementara itu, investasi aset tetap turun 3,1 persen pada paruh pertama tahun ini, meskipun lebih baik dari ekspektasi penurunan sebesar 3,3 persen.
Juru bicara Biro Statistik Nasional di Beijing Liu Aihua mengatakan penyebaran virus yang terus menerus secara global akan tetap menjadi kendala utama pada pemulihan domestik.
“Sulit untuk memulai kembali ekonomi dan perdagangan dunia. Pemulihan permintaan domestik terbatas pada tingkat tertentu saat ini,” katanya.
Memang, ada pula yang optimistis bahwa gambaran perbaikan bagi ekonomi China masih akan terlihat.
”Saya pikir pemulihan ekonomi di China akan terus berlanjut dalam beberapa kuartal mendatang, meskipun pertumbuhan ekspor menghadapi sedikit hambatan,” ujar Kepala ekonom China di perusahaan riset TS Lombard Bo Zhuang.
Namun, harapan untuk menahan angka penyebaran Corona telah tertekan seiring dengan menyebarnya infeksi di seluruh dunia, termasuk negara-negara seperti Australia dan Hong Kong, sehingga mendorong jumlah kasus global melampaui 13,5 juta orang.
Pada Kamis (16/7), negara bagian terpadat kedua di Australia, Victoria, mencatat lonjakan terbesar dalam kasus baru Covid-19 di tengah cengkeraman gelombang kedua Covid-19.
Virus Corona juga terus merajalela di seluruh AS. Negara bagian Texas melaporkan rekor angka kematian dan hampir 11.000 kasus baru, sedangkan California mencatat lonjakan yang hampir mendekati rekor.
Kondisi tersebut bukan pertanda baik bagi China. Negeri Tirai Bambu membutuhkan pertumbuhan ekspor untuk kembali mencatat ekspansi berkelanjutan.
Permintaan swasta dan eksternal adalah dua sumber ketidakpastian terbesar untuk paruh kedua tahun ini. Perusahaan swasta mengurangi investasi pada enam bulan pertama sementara pengeluaran oleh perusahaan milik negara mengalami lompatan besar pada Juni 2020, dengan naik 2,1 persen dalam enam bulan pertama setelah terguling 1,9 persen hingga Mei.
“Ekonomi China rebound dengan kuat pada kuartal kedua, tetapi sekarang tantangannya adalah untuk mempertahankan pemulihan,” tutur Ekonom Bloomberg Chang Shu dan David Qu
“Momentum berkelanjutan dalam produksi pada Juni menjadi pertanda baik untuk pertumbuhan pada paruh kedua. Namun, belanja konsumen yang lemah tetap menjadi hambatan yang serius dan terus-menerus,” papar mereka.
Memanasnya ketegangan geopolitik antara China dan AS merupakan risiko lain bagi ekspor dan investasi manufaktur China, sementara risiko gelombang kedua virus tidak dapat dikesampingkan.
“Reopening yang bergelombang dan tidak merata di negara-negara lain menyiratkan permintaan eksternal yang lebih lesu, yang kemungkinan akan menjadi hambatan pada pertumbuhan aktivitas industri di China,” ujar Kepala ekonom Greater China di Bank of America Helen Qiao.