Bisnis.com, JAKARTA--Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengatakan tambahan kebutuhan pembiayaan utang yang harus disiapkan pemerintah melonjak Rp903,4 triliun.
Dia menuturkan hal tersebut merupakan dampak dari pelebaran defisit APBN dari 1,76 persen menjadi 6,34 persen dari produk domesti bruto (PDB) untuk membiayai penanganan pandemi virus Corona (Covid-19).
"Terjadi kenaikan pembiayaan utang sebesar Rp903,4 triliun dari sebelumnya Rp741,8 triliun menjadi Rp1.645,3 triliun," katanya saat konferensi pers virtual, Senin (6/7/2020).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kebutuhan pembiayaan utang disiapkan untuk menutup tiga pos anggaran, yaitu pelebaran defisit APBN sebesar Rp732 triliun, kebutuhan investasi (dan lain-lain, netto) Rp136,6 triliun, dan utang jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah Rp34,8 triliun.
Dia melanjutkan dalam pembiayaan defisit 6,34% PDB, kebutuhan investasi neto sebesar Rp181,24 T antara lain ditujukan dalam rangka mendukung pembiayaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
"Pemerintah juga telah memanfaatkan SAL [saldo anggaran lebih] sebesar Rp70,64 triliun. Untuk BLU dana abadi dan dana pemerintah totalnya Rp104,9 triliun," imbuhnya.
Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, mengungkapkan angka Rp903,4 triliun merupakanpenyesuaian terhadap Perpres No. 72 Tahun 2020 dan selisih kurs utang jatuh tempo yang sebelumnya sebesar Rp905,2 triliun.
Adapun, akibat kenaikan pembiayaan utang untuk penanganan dampak pandemi Covid-19, terdapat tambahan bunga utang
diperkirakan sebesar Rp66,5 triliun per tahun.
Dia mengatakan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia sepakat berbagi beban (burden sharing) untuk menangani dampak pandemi Covid-19. Ada dua beban dampak Covid-19 yang akan ditanggung oleh pemerintah dan bank sentral, yaitu beban menyangkut kepentingan masyarakat (public goods) dan beban untuk UMKM dan korporasi non-UMKM (non-public goods).
"Total beban untuk public goods mencapai Rp397,5 triliun dan beban non-public goods Rp505,9 triliun," ucapnya.