Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mempertanyakan kepastian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan tenaga medis lokal dalam melakukan penyerapan alat pelindung diri (APD) medis lokal.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh mengatakan selalu ada perbedaan pendapat antara pihaknya dengan perwakilan Kemenkes. Menurutnya, pihak Kemenkes bersikeras dalam penentuan bahan baku APD dan skema pemesanan APD tersebut.
"Saya sampaikan ke Pusat Krisis [Kemenkes], saya sampaikan [industriawan] prosesnya tidak membuat talk. Kalau membuat talk, rugi industriawan," ujarnya kepada Bisnis akhir pekan lalu.
Selain kukuh bahwa APD yang diproduksi menggunakan spunbond polypropylene, Elis menyatakan pihak Kemenkes menuntut kecepatan produksi dan simplifikasi pemesanan. Menurutnya, pihak Kemenkes menuntut harus ada sekitar 6 juta unit APD berstandar medis pada bulan yang sama (April 2020) melalui satu pihak.
Di samping itu, Elis menyayangkan langkah Kemenkes yang memesan APD kepada pabrikan yang tidak memiliki kapasitas produksi sesuai dengan permintaan. Elis mencontohkan bahwa Kemenkes menaruh pesanan sebanyak 1 juta unit APD per bulan ke pabrikan yang hanya memiliki kapasitas produksi maksimum 400.000 unit per bulan.
Seperti diketahui, Kemenkes memesan 5 juta unit APD kepada konsorsium PT Energi Kita Indonesia melalui surat nomor KK.02.01/1/460/2020 pada 28 Maret 2020.
Baca Juga
Di sisi lain, Elis menyampaikan pihak Kemenkes sudah berkomitmen untuk mendahulukan penyerapan APD lokal dibandingkan produk impor. Namun demikian, Elis mengakui pihaknya belum memverifikasi ulang komitmen tersebut.
"Jangan-jangan dia [Kemenkes] menunjuk satu penyedia barang. Penyedia barang itu yang melakukan impor. Nanti saya coba cari data siapa yang impor ini, apakah memang pemerintah atau penyedia barang," katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada lonjakan impor pada produk-produk yang tercantum pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 23/2020 tentang Larangan Sementara Ekspor Antiseptik, Bahan Baku Masker, Alat Pelindung Diri, dan Masker. Adapun, lonjakan impor tersebut terjadi pada produk masker dan alat pelindung diri.
Pada April 2020, impor pakaian pelindung medis naik paling tinggi secara bulanan atau lebih dari 45 kali lipat menjadi 166,1 ton. Adapun, impor pakaian bedah melonjak 813,74 persen menjadi 12,2 ton.
Sementara itu, impor pakaian pelindung medis selama Januari-April 2020 naik lebih dari 19 kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu menjadi 167 ton. Adapun, impor pakaian bedah naik 89,72 persen secara tahunan menjadi 14,8 ton.
Kemenperin mencatat permintaan pakaian pelindung medis dan pakaian bedah selama delapan bulan terakhir 2020. Data tersebut menunjukkan bahwa permintaan pakaian pelindung medis per bulan mencapai 1,06 juta unit, sedangkan pakaian bedah sebesar 401.622 unit.
Berdasarkan data Kemenperin, pabrikan garmen lokal telah meningkatkan kapasitas produksi kedua jenis pakaian tersebut sejak April 2020. Adapun, 72 pabrikan pakaian pelindung medis kini memiliki kapasitas produksi sebesar 45,6 juta unit per bulan, sementara itu 16 pabrikan pakaian bedah kini memiliki kapasitas produksi hingga 2,05 juta unit per bulan.
Elis menduga bahwa lonjakan impor masker dan APD medis yang terjadi pada April 2020 berlanjut menjadi sepanjang kuartal II/2020. Namun demikian, pihaknya belum akan meningkatkan bea masuk dalam rangka perlindungan industri lokal.
Dia menyatakan baru akan mengamati volume impor kedua barang tersebut secara dekat mulai awal semester I/2020. Pasalnya, pelonggaran ketentuan impor APD dan masker medis akan kembali seperti semula per 1 Juli 2020.
Selain itu, dia menyampaikan langkah tersebut dilakukan untuk memastikan apakah lonjakan impor tersebut terjadi karena adanya pelonggaran impor atau permintaan lokal yang melonjak. Jika lonjakan impor APD dan masker medis tetap terjadi pada Juli 2020, Elis mengaku akan langsung melakukan tindakan perlindungan terhadap industri nasional.