Bisnis.com, JAKARTA - Industri hulu tekstil dan produk tekstil (TPT) menyatakan mampu menyediakan setengah dari kebutuhan produksi masker medis nasional. Namun demikian, serapannya masih terhambat lantaran persyaratan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Asosiasi Produsen Serat dan Benang FIlamen (APSyFI) menyatakan industri tekstil nasional mampu menghasilkan kain rajutan (woven) polyester berkualitas tinggi. Namun demikian, Kemenkes memaksa bahwa kain yang digunakan dalam masker medis merupakan kain bukan rajutan yakni spundbond polypropilene.
"Kemarin orang Kemenkes ngomong dokter merasa lebih nyaman [memakai masker dengan bahan spunbond polypropilene], Begitu kami langsung [memasarkan ke rumah sakit] banyak dibeli orang [tenaga kesehatan]," kata Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Wirawasta kepada Bisnis.com, beberapa waktu lalu.
Redma berujar tingginya ketersediaan kain woven polyester untuk produksi masker bedah sudah didasari oleh kesepakatan antara Kemenkes, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Redma menjelaskan forum tersebut memilih untuk mengembangkan woven polyester lantaran masker yang dibuat dapat digunakan kembali setidaknya hingga 10 kali. Sementara itu, masker dari spundobnd polypropilene hanya dapat digunakan sebanyak satu kali.
Oleh karena itu, pabrikan tekstil nasional mengembangkan woven polyester yang sesuai dengan standar Association for the Advancement of Medical Instrumentation. Seperti diketahui, ANSI/AAMI PB70 terdiri dari empat level di mana APD bersertifikat ANSI/AAMI PB70 level 4 merupakan APD dengan kualitas terbaik.
Baca Juga
Redma menyatakan woven polyester yang telah dikembangkan memiliki sertifikasi ANSI/AAMI PB70 tingkat 3 dan 4. Dengan kata lain, kain tersebut telah melalui tes penetrasi tekanan hydrostatic sebesar 50 cm dan tekanan darah sebesar 13,8 kPa.
"Kami sudah tes di Amerika Serikat, Jerman, dan Taiwan. Sudah lolos semua [sertifikasi ANSI/AAMI PB70 tngkat 4], dan itu bukan spundbond polypropilene," ujarnya.
Redma berpendapat pengalihan pemilihan bahan baku secara sepihak oleh Kemenkes membuat pabrikan enggan untuk mengembangkan bahan baku untuk alat pelindung diri (APD) lainnya untuk tenaga medis. Alhasil, lanjutnya, pabrikan juga hanya dapat memasok 50 persen dari total kebutuhan produksi gaun medis.
Redma menyatakan pabrikan sebetulnya dapat dengan mudah mengubah pengaturan mesin untuk memproduksi spunbond polypropilene. Selain itu, lanjutnya, PT Chandra Asri Petrochemichal (CAP) sebelumnya sudah berkomitmen untuk memasok polypropilene untuk produksi APD medis.
"CAP bertanya soal kepastian pasar [polypropilene], tapi semua pabrikan ragu develop [spundbond polypropilne]. Orang Kapok melihat kemarin sudah dibikin banyak [woven polyester] tapi impor masuk. Jadi, kepastian pasar tidak ada," ucapnya.