Bisnis.com, JAKARTA – Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) menilai data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada Mei 2020 sebesar 3,10 persen, belum bisa menjadi indikasi positif bagi sektor pariwisata di Indonesia.
Ketua ICPI, Azril Azhari mengatakan bahwa dalam statistik, kenaikan sesaat pada bulan tertentu tidak dapat menjadi tolak ukur adanya peningkatan di kemudian hari.
“Kenaikan itu engga signifikan, kecil banget. [ke depan] masih bisa naik dan turun dan belum pasti, karena Covid-19 itu kan jangka panjang. Kecuali kalau dari Januari meningkat terus, ini kan hanya sesaat [naik] jadi tidak signifikan” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu, (1/7/2020).
Menurutnya, perlu juga untuk memastikan apakah wisman yang hadir ke Tanah Air memang bertujuan untuk berwisata atau melakukan kegiatan berbisnis.
“Kemudian, dari 3 persen yang dihitung itu, menurut saya bukan wisatawan melainkan orang bisnis yang dianggap sebagai wisman. Itu perlu di cek lagi [oleh BPS]. [Contohnya] Australia melarang [kegiatan wisata] hingga 2021 yang boleh hanya kegiatan bisnis, coba diperinci datanya,” tuturnya.
Menurutnya, untuk mewujudkan pemulihan pariwisata secara nyata perlu diterapkan ragam strategi lain selain fokus pada protokol kesehatan, untuk pemerintah pusat dan daerah dapat melakukan rapid test dan sertifikasi bebas Covid-19 untuk meyakinkan masyarakat bahwa destinasi dan transportasi dalam keadaan aman.
Baca Juga
Selanjutnya, dia berharap pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk mengevaluasi kembali 10 kawasan ekonomi khusus dan 5 destinasi wisata super prioritas. Hal ini, tambahnya, karena minat wisata telah bergeser.
“Tolong yang 10 ekonomi khusus dan 5 super prioritas destinasi harus di evaluasi kembali, karena orang ga mau lagi berkerumun. Minat pariwisata [kini] telah bergeser tidak lagi nature of tourism, lebih ke wisata yang in-deep dan sedikit, seperti adventure tourism, bio-eco tourism, dan edu tourism,” tuturnya
Selain itu, dia mengkritisi bahwa rencana pemerintah Indonesia yang akan membuka travel bubble dengan empat negara, yaitu China, Korea Selatan, Jepang, dan Australia dapat dikatakan kurang tepat.
“Konsepnya salah, karena harusnya yang adalah negara bertetangga yang bisa masuk atau berwisata dan kasus [Covid-19]-nya sudah zero atau minimal sama,” tuturnya.
Menurutnya, pemilihan empat negara ini dengan alasan berhubungan dengan investasi di Indonesia dan menjadi prototipe sebelum pariwisata benar-benar dibuka bagi wisatawan mancanegara. Sementara, negara-negara tetangga Indonesia di kawasan Asia Tenggara, tak masuk dalam daftar travel bubble Indonesia.
“Bubble, [artinya] di dalam gelembung yang sama. Artinya seperti Australia dan New Zealand standar protokol kesehatan sama, tidak saling merendahkan. Sehingga, kedua negara mau membuka border,” ujarnya.
Jika melihat lokasi wilayah yang berdekatan, menurutnya, seharusnya Indonesia menerapkan travel bubble dengan negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, atau Australia.